Seminar “Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”

Seminar9“Pemahaman yang baik dan benar akan melahirkan perilaku yang baik dan benar”.Demikian penggalan kata sambutan dari RD Lucius Joko Kasihanto selaku Dekan Dekanat Utara saat membuka Seminar “Radikalisme dan Terorisme di Indonesia” pada Sabtu (30/4/2016) di Paroki St. Matias, Cinere. Adapun seminar yang berlangsung pada pukul 12.00-16.00 wib ini terselenggara berkat adanya kerjasama Ikatan Sarjana Katolik (ISKA), Dekanat Utara-Keuskupan Bogor serta Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.

Seminar didahului dengan makan siang bersama sambil mendengarkan lagu-lagu kebangsaan yang dimainkan secara akustik oleh OMK St. Matias, Cinere.

Bertindak selaku keynote speaker adalah Hasudungan Hutauruk mewakili Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Beliau mengatakan bahwa seminar ini merupakan bagian dari program pendidikan politik dan kebangsaan yang diharapkan gaungnya tidak hanya berhenti di dalam ruang seminar. Selain memberikan pemahaman lebih baik, diharapkan seminar juga ditindak-lanjuti dengan tindakan nyata.

Bertindak selaku moderator adalah Yohanes Joko selaku Sekjen Ikatan Sarjana Katolik (ISKA). Dalam seminar tersebut, juga hadir RD Antonius Sahat Manurung dari Paroki St. Paulus, Depok dan juga anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Depok.

Seminar3Selanjutnya Prof. Dr. Irfan Idris, MA selaku Direktur Deradikalisasi, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) memaparkan bahwa radikal bersifat universal, sistematis dan obyektif. Sedangkan radikalisasi merupakan proses menjadikan pengikutnya cerdas, kritis dan dewasa. Radikalisme bersifat melakukan perubahan secara cepat dan menggunakan kekerasan serta mengatasnamakan agama juga menjadi ibu yang akan melahirkan terorisme. Faktor-faktor yang dapat menjadikan seseorang radikal yaitu ketidakadilan, kemiskinan, termarjinalkan/terpinggirkan dan kebodohan. Namun, faktor utama adalah pemahaman yang kurang atau tidak tepat akan ajaran atau nilai agama. Untuk menangkal radikalisme dan terorisme, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme membuat strategi dengan deradikalisasi yaitu suatu proses atau program untuk menjadikan orang-orang radikal menjadi tidak radikal. Deradikalisasi dilakukan dengan pendekatan-pendekatan psikologis, sosial, agama, ekonomi, pendidikan dan kemanusiaan serta dilakukan baik di dalam maupun di luar lembaga pemasyarakatan (lapas). Selain itu beliau juga menguraikan salah satu tindakan nyata yang bisa dilakukan adalah melakukan kontra narasi melalui media, khususnya media sosial. Media sosial yang dijadikan media promosi oleh aktivis radikalisme harus dilawan antara lain dengan keberanian menyebarkan berita positif. Akhirnya beliau mengajak segenap masyarakat untuk berperan aktif dalam program deradikalisasi ini.

Seminar9Narasumber berikutnya yaitu Achmad Ubaidillah selaku Direktur Pusat Studi Pesantren. Dewasa ini, radikalisme dan fundamentalisme yang terwujud dalam wajah kekerasan atas nama agama masih saja dijumpai di banyak negara tidak terkecuali, di Indonesia. Terjadinya kekerasan dengan mengatasnamakan agama tentu saja sangat memprihatinkan mengingat agama yang bermisi kedamaian menjadi tereduksi dengan tindakan-tindakan yang bertentangan pada nilai agama. Padahal sejatinya seluruh dimensi kehadiran agama haruslah senantiasa mengemban misi penyelamatan manusia (the salvation of man) dalam kehidupan. Beliau juga menjelaskan bahwa kelompok dalam umat Islam yang menafsirkan Kitab Suci secara harafiah, literal dan tanpa tafsir ini telah ada sejak jaman kekafilahan di awal kejayaan kerajaan Islam. Dan kelompok ini terus berkembang, melahirkan prinsip jihad secara keliru karena tuna referensi, senang memenggal ayat dan tak mengerti arti keseluruhan Kitab Suci. Situasi ini diperparah dengan situasi geopolitik di kawasan Timur Tengah yang dibawa dalam ”kemasan” agama ke Indonesia. Ditegaskan pula bahwa strategi deradikalisasi yaitu meluruskan kembali ajaran dengan menguatkan pemahaman Kitab Suci hingga menjadi lebih kontekstual dan menyeluruh.

Narasumber terakhir yaitu Dr. Yopik Gani selaku Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Beliau menguraikan pentingnya masyarakat mempunyai kemampuan sendiri dalam menangkal terorisme di lingkungannya. Strategi yang ditawarkan adalah program Pemolisian Masyarakat (Polmas) yaitu intinya masyarakat menjadi polisi bagi dirinya sendiri. Program ini sebenarnya secara formal sudah ada dalam tubuh Polri tahun 2005 namun sepertinya belum secara serius dilaksanakan.

Selain dari Paroki St. Matias, Cinere, seminar ini juga dihadiri oleh anggota kepolisian dari Mabes Polri-Jakarta serta umat dari Paroki St. Herkulanus, Paroki St. Markus, Paroki St. Paulus, Paroki St. Matheus, Paroki St. Thomas, dan Paroki St. Stefanus, Cilandak. Juga dari kalangan media yaitu Kompas, Media Indonesia dan Nusantara.

Usai pemaparan dari para narasumber, moderator membuka kesempatan bagi para hadirin yang akan mengajukan pertanyaan seputar materi yang telah dipaparkan tersebut.

Rangkaian seminar ditutup dengan pemberian kenang-kenangan oleh DPP dan RD Lucius Joko kepada moderator, keynote speaker dan para narasumber lalu foto bersama. (net)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Content is protected !!