‘Part of Us’ Membangun Kesadaran “Menjadi Bagian” Dalam Hidup Bersama

Loading

PART OF US

Membangun Kesadaran “Menjadi Bagian” Dalam Hidup Bersama

Ada ungkapan klasik yang akrab dalam pemahaman kita yaitu Homo Socius (manusia itu mahluk sosial) dan Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi sesama). Kesadaran dasar yang hendak ditunjukkan di sini bahwa, manusia itu selalu hidup bersama. Ini menjadi kenyataan takterelakkan sekaligus menjadi kebutuhan yang mutlak. Hidup dan ada bersama dengan orang lain itu adalah hakekat manusia. Hanya kemudian, dalam hidup bersama selalu ada benturan antarpribadi, singgungan antarkepentingan, sehingga memunculkan pula berbagai macam respon terhadap sesama. Ada yang mengalaminya sebagai anugerah, namun tidak jarang ada yang merasakan hidup bersama orang lain itu sebagai ancaman, saat egosentrisme begitu kuat.

Homo homini lupus menggambarkan adanya pengalaman bahwa sesama itu menjadi ancaman. Bahkan, ada seorang filsuf eksistensialisme ateis bernama Jean Paul Sartre pernah mengatakan bahwa ‘orang lain itu neraka’ atau ‘neraka itu adalah orang lain’. Menurut Sartre, yang utama dalam diri manusia adalah kebebasan, tanpa batas. Tetapi, ada dua pihak yang membuat seorang pribadi itu tidak bebas yaitu tuhan dan orang lain. Dalam pengalamannya, Sartre yang mengalami “cacat” pada matanya (juling), melihat tuhan sebagai pihak yang telah membuatnya terbatas. Demikian juga orang lain, pengalamannya “dipandangi” oleh orang lain membuatnya merasa terbatas, merasa menjadi objek dari yang melihatnya.

Latar belakang dari pemikiran Sartre ini adalah situasi sosial di Perancis saat itu, dimana kaum borjuis semakin mampu melakukan apa pun, sedangkan kaum marginal, para gelandangan dan tuna wisma semakin terancam hidupnya. Ada situasi individualisme yang kuat disertai dengan kompetisi yang tidak sehat dalam kehidupan bersama. Maka, menjadi beralasan ketika tumbuh gagasan orang lain sebagai ancaman.

Dalam hal ini, pada situasi zaman kapan pun, saat individualisme begitu kuat, egosentrisme menjadi acuan, maka orang tidak akan pernah nyaman hidup bersama dengan orang lain. Orang lain akan selalu dirasa sebagai penghalang, sebagai pembatas terhadap kebebasan individualnya. Apalagi, dalam hidup bersama itu selalu terbentuk kesepakatan bersama, selalu terbentuk norma atau aturan hidup bersama, maka bagi kaum individualisme semakin nyatalah bahwa orang lain itu ancaman, orang lain itu serigala, orang lain itu neraka.

Modernitas juga ditandai dengan individualisme yang kuat. Zaman kita sekarang ini pun tetap ada kenyataan orang-orang yang memiliki egosentrisme yang kuat. Sebagai contoh, meskipun tetap masih bisa didiskusikan, dalam dunia bisnis, orang tidak segan-segan menjatuhkan saingannya, orang tidak segan-segan menggunakan berbagai macam cara untuk menguasai dan menyingkirkan saingan bisnisnya. Demikian juga dalam bidang hidup bersama yang lain. Untuk memperoleh kuasa, pengaruh dan lain-lain, orang bisa menggunakan seribu macam cara untuk menghalangi, bahkan menyingkirkan orang lain yang dirasa sebagai penghalang atau saingan.

Lalu, apakah hidup bersama itu selalu dipahami dan dialami dalam arti tersebut di atas? Kita akan sepakat menjawabnya : TIDAK. Banyak pihak akan mengalami dan mengatakan bahwa hidup bersama itu anugerah, bahwa hidup bersama itu menjadi kebutuhan yang mutlak, harus terpenuhi. Justru, dalam hidup bersama itu manusia akan semakin menyadari dirinya secara utuh dan mampu mengaktualisasikan dirinya secara penuh.

Kita bisa mencari dan menemukan banyak alasan atas kebutuhan hidup bersama ini. Dalam tulisan ini, kita akan mencoba melihat sekilas dasar atau alasan hidup bersama dari sisi psikologi dan religius. Dalam sebuah blog dengan inisial pemilik Li-Or, hidup bersama itu memenuhi salah satu kebutuhan mendasar setiap orang, yaitu “merasa dibutuhkan”. Dalam hidup bersama, seseorang akan mengalami dan merasakan dirinya “dibutuhkan” oleh orang lain, dan “merasa dibutuhkan” ini ternyata menumbuhkan makna dalam dirinya, bahwa hidupnya berarti bagi orang lain, sehingga pengalaman dan perasaan “dibutuhkan” ini bisa menjadi kekuatan, menjadi pendorong bagi seseorang untuk memberikan yang terbaik, untuk bertahan (survive) dalam hidupnya.

“Merasa dibutuhkan” ini juga berkaitan dengan kebutuhan mendasar seseorang berkaitan dengan “harga diri”. Memang, setiap orang secara intrinsik sudah berharga, dalam dirinya sendiri setiap orang tentunya sudah merasa memiliki harga diri. Namun, dalam hidup bersama “harga diri” ini mendapatkan aktualisasinya. Dalam hidup bersama setiap pribadi merasa “diinginkan dan dicintai”. Dengan merasa diinginkan dan dan dicintai, orang akan mengalami dirinya sungguh lebih berharga. Disadari atau tidak disadari, “merasa diinginkan dan merasa dicintai” ini bisa menjadi kekuatan yang luar biasa dalam diri seseorang untuk melakukan banyak hal, menjadi kekuatan yang dahsyat untuk menjalani kehidupannya.

Selain itu, hidup bersama juga akan membuat seseorang menemukan jati dirinya, menemukan identitasnya. Memang, setiap pribadi itu unik, sudah memiliki identitasnya sendiri. Namun, secara sederhana orang akan menemukan jawaban atas dirinya berdasarkan hidupnya bersama orang lain. Banyak orang ketika ditanya “siapa dirinya” akan menjawab siapa dirinya berdasarkan keluarga, kelompok, baik ras, pekerjaan, agama, atau komunitas-komunitas lainnya. Ada kesulitan yang dirasakan ketika hendak mendeskripsikan dirinya tanpa kaitan dengan orang lain atau kelompoknya. Hidup bersama, dalam hal ini, tidak hanya membantu orang untuk semakin menemukan identitasnya, namun akan menumbuhkan pengalaman juga mendapatkan bantuan atau dukungan dalam hidupnya. Idealnya memang setiap orang mempunyai kekuatan dari dalam dirinya sendiri untuk memotivasi diri. Tetapi pada kenyataannya, begitu banyak kesulitan dan tantangan dalam kehidupan, sehingga orang merasa tidak mampu dengan dirinya sendiri. Ia membutuhkan orang lain untuk menopang dan mendukungnya sehingga mampu menghadapi dan melewati gelombang kehidupannya.

Dalam hal ini, hidup bersama juga memberikan tuntunan untuk hidup sebagai pribadi. Ada saat kita mengalami kebingungan, ketidaktahuan terhadap apa yang harus kita lakukan, kebingungan tentang kebenaran dan kesejatian. Akan tetapi, melalui diskusi, melalui sharing pengalaman dan gagasan, melalui norma hidup bersama kita akan lebih mudah menentukan langkah hidup kita. Maka, hidup bersama pun memberikan kekuatan dan arahan untuk mengekspresikan diri. Ekspresi diri ini juga penting untuk kesehatan mental kita. Dengan demikian, hidup bersama pun akan membawa kesadaran dalam diri kita bahwa kita hidup dan ada di tengah dunia, di dalam dunia, dengan segala kesulitan dan kemudahannya, segala penderitaan dan kebahagiannya.

Selain berdasarkan alasan psikologis tersebut di atas, kita pun bisa menggali alasan hidup bersama sebagai anugerah berdasarkan kesadaran religius atau pun alasan teologis maupun biblis (berdasarkan Kitab Suci). Dalam kitab Kejadian, Allah berfirman bahwa “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kej 2:19). Baiklah kutipan ini kita lihat secara luas, tidak hanya dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan. Dengan ini mau dikatakan bahwa, sejak menciptakan Adam dan Hawa, Allah menghendaki manusia itu hidup bersama, sebagai mahluk sosial. Orang lain itu sepadan, sederajat dan akan menjadi penolong satu sama lain, karena sendiri itu tidak baik, sendiri itu tidak akan bisa hidup.

Setiap orang, setiap pribadi adalah ciptaan-Nya. Maka, kita ini hidup sebagai “sesama ciptaan Allah”. Hidup sebagai sesama ciptaan Allah itu berarti hidup yang semartabat, hidup yang saling menolong dan mendukung, sehingga orang lain itu menjadi surga yang kelihatan, bukan neraka. Kitab Kejadian sendiri menegaskan bahwa manusia adalah citra Allah, gambar dan rupa Allah (Kej 1:26-27). Setiap pribadi menjadi wujud kehadiran Allah satu sama lain.

Dalam pembaptisan, kita masuk ke dalam relasi Allah Tri Tunggal dan juga menjadi bagian dalam komunitas Gerejawi. Dalam relasi Allah Tri Tunggal, kita menemukan dasar relasi yang sejati, yakni relasi cinta kasih. Dari ajaran Gereja tentang Allah Tri Tunggal kita memahami bahwa karya Allah menjadi penuh, menjadi sempurna dalam kehadiran Tiga Pribadi Allah yang satu itu. Allah Bapa mencipta, Allah Putera membawa dan memberi hidup, Allah Roh Kudus meneruskan karya tersebut dan menuntun Gereja mencapai kesempurnaan. Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus disatukan dalam relasi cinta, sehingga karya-Nya untuk menyelamatkan kita menjadi penuh dan sempurna.

Relasi cinta Allah Tri Tunggal inilah yang menjadi dasar relasi Gereja, kita yang dibaptis ini. Relasi cinta yang memungkinkan karya Allah terpenuhi, relasi cinta yang memungkinkan kita mencapai kesempurnaan dan kekudusan (ambil bagian dalam hidup Allah yang kudus), dengan segala kekurangan dan kelemahan serta kelebihan kita yang saling menyempurnakan. Cinta itu selalu mengarah keluar dari dirinya. Allah, yang adalah Cinta, mengaktualisasikan Diri-Nya dalam relasi Trinitarian. Allah juga membutuhkan manusia untuk mengaktualisasikan Diri-Nya, yang adalah Cinta itu. Demikian juga kita, cinta itu anugerah yang ditanam dalam diri setiap orang, maka untuk mengaktualisasikan dirinya setiap orang membutuhkan yang lain. Dalam hidup bersama, aktualisasi diri ini mendapatkan tempat pemenuhannya.

Inilah juga yang menjadi hakekat Gereja sebagai sebuah komunitas. Komunitas Gereja lahir, tumbuh dan berkembang dengan dasar cinta Allah sendiri untuk menyelamatkan manusia. Setiap pribadi dalam Gereja, pada gilirannya, mempunyai hak untuk mencintai dan dicintai berkat pembaptisan yang telah diterima. Setiap pribadi dalam Gereja, mengaktualisasikan diri dan imannya selalu dalam hidup bersama, karena berkat pembaptisan itu seorang pribadi disatukan dengan pribadi yang lain dalam Kristus. Dengan demikian, hidup bersama itulah yang memungkinkan setiap pribadi mencapai pemenuhan dirinya. Orang lain menjadi “teman seperjalanan” dalam rangka pemenuhan jati dirinya, sebagai citra Allah.

Oleh karena itu, membangun kesadaran “menjadi bagian” dalam komunitas, dalam konteks hidup bersama menjadi hak sekaligus kewajiban setiap pribadi. Membangun kesadaran “menjadi bagian” dalam komunitas menjadi kebutuhan setiap orang yang memungkinkan dirinya dan sesama, sebagai “teman seperjalanan” di dunia ini, mampu mengaktualisasikan diri dan mencapai pemenuhan jati dirinya. Apa itu kesadaran “menjadi bagian” dalam komunitas? McMillan & Chavis (1986) mengatakan bahwa, rasa atau kesadaran menjadi bagian adalah rasa bahwa masing-masing anggota mempunyai rasa memiliki, kesadaran bahwa masing-masing anggota itu penting satu sama lain, dan berbagi keyakinan dan harapan bahwa kebutuhan dan kebaikan tiap anggota akan terpenuhi dalam komitmen bersama untuk hidup bersama-sama dalam komunitas.

Membangun kesadaran “menjadi bagian” dalam komunitas itu memungkinkan setiap pribadi “merasa berarti”, “merasa menjadi pribadi yang penting”, “merasa diperhatikan dan dicintai”, dan sebagainya. Rasa seperti ini akan menjadi kekuatan dari dalam yang mampu menggerakkan (driving force) bagi setiap pribadi untuk mengaktualisasikan diri dalam hidup bersama, untuk memberikan yang terbaik dari dalam dirinya demi kepentingan dan kebaikan bersama (bonum commune), demi proses menuju kesempurnaan diri. Dengan demikian, setiap pribadi mengaktualisasikan dirinya sebagai “imago Dei” (citra Allah), tanda kehadiran Allah bagi sesamanya.

Cecilius (230-168 SM) pernah berkata, Homo homini Deus, si suum officium sciat (manusia adalah Allah bagi manusia yang lain jika ia mengetahui kewajibannya). Kewajiban asasi yang melekat pada manusia adalah menghormati pribadi yang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setiap orang pada dasarnya mampu mengenali kewajiban utama tersebut. Dengan menyadari dan merealisasikan kewajiban itu, kehadiran setiap pribadi akan membawa berkat dalam kehidupan.

DSC03749Bahkan, kesadaran untuk saling menerima, saling menghargai, saling membantu, mendukung dan meneguhkan ini ditegaskan oleh Yesus sendiri bahwa setiap pribadi bertanggung jawab terhadap keselamatan yang lain (bdk. Mat 14 : 15-17; Luk 9 : 12-13; Mrk 6 : 35-37). Orang lain itu bukan beban, bukan saingan, bukan neraka, tetapi justru sesama itu “diri kita yang lain” (alter ego). Setiap pribadi bertanggung jawab terhadap hidup orang lain. Dan justru, di dalam dan melalui sesama inilah setiap pribadi mampu menemukan kesempurnaan dan membangun kehidupan bersama yang semakin menjadi baik, karena sesama mempunyai asal kehidupan yang sama, yakni dari Allah, dan sesama itu “teman seperjalanan” dalam peziarahan hidup di dunia ini menuju Sang Sumber Kehidupan, menuju surga.

Gereja pun turut merumuskan kesadaran tanggungjawabnya sebagai Sakramen keselamatan. Dalam Lumen Gentium artikel 1 diungkapkan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”. Gereja itu siapa? Gereja itu adalah kita semua yang telah dibaptis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. Gereja itu adalah kita Umat Allah, Umat milik Allah. Kita telah dijadikan harta-Nya yang sangat berharga, harta kesayangan-Nya. Ini menunjukkan bahwa kita adalah pribadi yang sangat berharga dan berarti bagi Allah (bdk. Kel 19:5). Kita telah dijadikan-Nya sebagai kerajaan imam dan bangsa yang kudus (Kel 19:6), yang mempunyai tanggung jawab juga untuk menguduskan kehidupan dan dunia kita.

Akhirnya, membangun kesadaran “menjadi bagian” dalam hidup bersama juga akan menjadi budaya baru untuk melawan kultur egosentrisme yang kuat ini. Membangun kesadaran “menjadi bagian” akan memungkinkan dan memampukan setiap pribadi untuk mengalami pengalaman “dicintai dan mencintai”, sehingga setiap pribadi berjalan dengan penuh keyakinan dan harapan dalam membangun kehidupan yang semakin baik dari hari ke hari, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota komunitas atau masyarakat. Dengan demikian, setiap pribadi menghadirkan dirinya sebagai “berkat”, sebagai “anugerah dan rahmat” satu sama lain, bukannya menjadi “neraka” bagi sesamanya. Si vis amari, ama. Tuhan memberkati kita.

RD. Yohanes Suparto

 

 

Tulisan ini juga dimuat dalam majalah Seminari Menengah Stella Maris, PROGRESSIVE, edisi Januari-Maret 2015.

 

Referensi :

Blog dengan pemilik Li-Or (melalui wikipedia)

Dokpen KWI, Dokumen Konsili Vatikan II, OBOR, 1993

Keuskupan Bogor Menatap Masa Depan, Sinode 2002 dan Sewindu Uskup, PT Grafika Mardi Yuana,

2002

Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Deuterokanonika, cetakan kedua 2009

Pius Pandor CP, Ex Latina Claritas : Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan, OBOR, 2010

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Content is protected !!