Bogor – Keuskupan Bogor : Penerbitan Keppres No.6 tahun 2000 pada era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Presiden Keempat RI) untuk menggantikan Inpres No.14 tahun 1967 telah memberikan angin segar bagi etnis Tionghoa dalam mengekspresikan kepercayaan, budaya dan tradisinya. Imlek dan Cap Go Meh yang menjadi perayaan besar bagi etnis Tionghoa kini dapat dirayakan secara terbuka di ruang publik. Pada era Presiden Megawati (Presiden Kelima RI), Imlek pun dijadikan sebagai libur nasional di Indonesia.
Dalam tradisi Tionghoa, Imlek adalah sebuah perayaan pergantian tahun berdasarkan siklus fase bulan. Seperti umumnya pergantian tahun dalam tradisi penanggalan romawi (berdasarkan siklus matahari) yang terjadi pada malam 31 Desember, demikian pula kemeriahan Imlek dirayakan.
Gereja Katolik pun turut menyambut dengan tangan terbuka terkait perayaan Imlek dengan mengadakan misa Imlek. Sejatinya perayaan misa ini sebagai bentuk ungkapan syukur atas segala berkat yang diterima pada tahun yang akan ditinggalkan dan memohon berkat bagi tahun baru yang akan dijalani. Terkait dengan perayaan ini, Imlek tahun ini (Imlek 2569) jatuh pada hari jumat, 16 Februari 2018 yang merupakan hari jumat pertama dalam masa prapaskah. Rabu abu jatuh pada tanggal 14 Februari 2018.
Tanpa mengurangi sukacita perayaan Imlek dan masa Prapaskah maka Gereja Keuskupan Bogor melalui Bapa Uskup Bogor, Mgr. Paskalis Bruno Syukur, memberikan kebijakan :
1. Hari Jumat, 16 Februari 2018 tetap berlaku sebagai hari wajib masa pantang dan puasa sesuai aturan masa prapaskah.
2. Perayaan Misa Imlek dapat dirayakan pada hari kamis malam (15 Februari 2018) atau pada hari sabtu, 17 Februari 2018 sebelum Pukul. 12.00 WIB.
Dengan kebijakan ini tentunya menjadi jelas bagi umat dan para imam yang hendak merayakan Imlek untuk tetap menjaga keutamaan masa tobat kita (masa prapaskah). Semoga tidak ada lagi kegalauan umat dalam menyambut sukacita Imlek ditengah masa Prapaskah. Berkat Tuhan menyertai kita semua. (RD David).