Penghargaan Sejati

Loading

Rabu, 05 Februari 2020
PW. St. Agata
Pekan Biasa IV  
Bacaan I   : 2Sam. 24: 2.9-17
Mazmur     : Mzm. 32: 1-2.5.6.7
Injil      : Mrk. 6: 1-6

SUATU ketika, ada seorang anak punk yang duduk di dalam gerbong kereta yang padat. Tubuh anak punk itu dipenuhi dengan tato, rambutnya dicat merah, dan pakaiannya serba hitam. Orang-orang di gerbong kereta itu melihat dengan penuh curiga dan jaga jarak terhadap anak punk tersebut. Tidak hanya itu, orang-orang pun memegang tasnya erat-erat karena takut anak punk itu melakukan pencurian. Di suatu stasiun, ada seorang nenek  yang masuk ke dalam gerbong tersebut. Padatnya orang-orang membuat nenek itu susah masuk ke dalam dan mendapatkan tempat yang nyaman. Tidak ada satu orang pun memberikan tempat duduk, sampai si anak punk yang berdiri dan mempersilakan nenek itu untuk duduk.

Injil hari ini menceritakan Yesus yang ditolak di kampung halaman-Nya. Penolakan terjadi dari orang-orang sekampung-Nya karena mereka merasa mengenal latar belakang Yesus sebagai orang biasa. Keistimewaan Yesus menjadi hal yang aneh dalam benak mereka, mengingat latar belakang dan keadaan orang tua Yesus. Yesus pun direndahkan kendati mereka sudah melihat sendiri bukti ke-Tuhan-an Yesus. Akibatnya, Yesus tidak dapat melakukan mujizat di kampung halaman-Nya.

Dalam kehidupan sosial, pribadi manusia sering dinilai dari status sosial dan ekonomi. Penghargaan terhadap manusia dilihat dari seberapa kayanya dia atau seberapa terpandangnya dia. Martabat luhur di dalam pribadi manusia kurang dilihat sebagai sesuatu yang berharga. Apalagi di tengah zaman yang hiruk pikuk ini, manusia berlomba-lomba agar mendapat penghargaan dari orang lain lewat harta dan kekuasaan yang diperoleh. Yesus pun dalam Injil hari ini mendapat penilaian seperti itu. Orang-orang di kampung halaman-Nya melihat Yesus hanyalah orang biasa yang tidak ada istimewanya sehingga tidak perlu dipercayai sebagai Tuhan.

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai martabat luhur karena manusia adalah citra Allah. Hal ini menjadi inti dari penghargaan manusia terhadap manusia lainnya. Status sosial, ekonomi, dan prestasi-prestasi lain hanyalah sebagai embel-embel di dalam martabat luhur manusia. Embel-embel bersifat tambahan, bukan yang pokok. Akan tetapi kita sering menganggap embel-embel tersebut menjadi hal yang pokok.

Jangan sampai kita menjadi seperti orang-orang sekampung halaman Yesus yang memandang orang lain hanya berdasarkan latar belakang dan statusnya. Penghargaan sejati adalah penghargaan yang didasarkan pada hakikat sebagai citra Allah dan sesama saudara di dalam kasih. Dengan bantuan rahmat Allah, semoga kita lebih menghargai sesama sebagai satu saudara.

[Fr. Ignatius Bahtiar]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Content is protected !!