Temu Uskup Regio Jawa 2025 di Keuskupan Bogor: Gereja Berjalan Bersama Mewujudkan Ekonomi yang Lebih Adil dan Bersaudara

KEUSKUPANBOGOR.ORG – Keuskupan Bogor menjadi tuan rumah penyelenggaraan Temu Uskup Regio Jawa 2025 yang berlangsung pada 30 Juni–3 Juli 2025 bertempat di R Hotel Rancamaya, Bogor. Kegiatan ini dihadiri oleh para Uskup dan Pastor Kuria dari seluruh keuskupan di wilayah Regio Jawa, dan mengangkat tema “Ekonomi Fransiskus: Gereja ‘Peziarah Pengharapan’ Berjalan Bersama dalam Membangun Tatanan Ekonomi yang Lebih Adil dan Bersaudara.”

Temu Uskup Regio Jawa merupakan agenda tahunan yang menjadi wadah koordinasi dan perjumpaan antar keuskupan, namun lebih dari itu, pertemuan ini juga menjadi ruang sinodal, tempat di mana para gembala dapat berbagi pengalaman pastoral, merespons realitas umat, serta menyusun arah langkah bersama dalam terang Injil.

Hari Pertama: Tiba, Bertemu, dan Menyatu
Sejak siang hari, para peserta mulai berdatangan dan memenuhi area hotel tempat kegiatan berlangsung. Suasana keakraban segera terasa seperti tawa, sapaan hangat, dan pelukan persaudaraan menghiasi ruang-ruang pertemuan. Setelah sekian waktu berjauhan, momen ini menjadi kesempatan untuk menyambung kembali tali komunikasi dan persaudaraan pastoral antar keuskupan.

Kegiatan secara resmi dibuka dengan registrasi dan pengantar umum. Di penghujung hari, para peserta dibagi dalam kelompok-kelompok seperti Kelompok Vikaris Jenderal, Vikaris Yudisial, Sekretaris Keuskupan dan Ekonom Keuskupan. Diskusi ini untuk saling berbagi konteks pastoral masing-masing keuskupan. Diskusi ini menjadi awal yang baik untuk membangun arah bersama dan mendengarkan realitas dari berbagai wilayah di Regio Jawa.

Hari Kedua: Menyatu dengan Sejarah, Menyambut Pengharapan
Pada hari kedua, peserta diajak mengunjungi Museum Kepresidenan yang berada di kawasan Istana Bogor. Kunjungan ini menjadi ruang reflektif atas nilai-nilai kepemimpinan nasional dan relevansinya dengan kepemimpinan pastoral dalam Gereja. Kehadiran para uskup di ruang sejarah bangsa menjadi simbol keterlibatan Gereja dalam kehidupan sosial dan kenegaraan.

Sore harinya, seluruh peserta mengikuti Misa Pembukaan di Paroki BMV Katedral Bogor. Dalam homilinya, Mgr Agustinus Tri Budi Utomo yang merupakan Uskup Keuskupan Surabaya menyampaikan homili yang menyentuh dan menggugah kesadaran akan jati diri Gereja sebagai peziarah pengharapan. Ia mengajak untuk merenungkan kembali peran Gereja di tengah situasi sosial dan ekonomi umat yang penuh tantangan.

Monsinyur Didik, begitu Ia disapa, menggarisbawahi bahwa Gereja tidak boleh bersikap diam atau hanya berbicara dari balik tembok kelembagaan. Ia harus hadir di tengah umat, mendengarkan suara mereka, memahami beban hidup mereka, dan berjalan bersama. Dalam terang semangat sinodalitas yang digaungkan oleh Paus Fransiskus, Gereja dipanggil bukan hanya untuk mengajar, tetapi lebih dulu untuk mendengarkan dan menyatu dengan realitas.

Homili tersebut juga menyoroti kehadiran orang-orang kecil dalam kehidupan Gereja. Dalam kesederhanaan dan keterbatasan mereka, justru tersembunyi kekuatan iman, ketekunan, dan semangat berbagi yang sering kali tidak kita sadari. Monsinyur Didik menyebut bahwa mereka adalah wajah konkret dari harapan, dan menjadi guru bagi Gereja dalam hal pengorbanan, kesetiaan, dan semangat hidup.

Menyambung tema besar Temu Uskup kali ini, “Ekonomi Fransiskus”, Monsinyur Didik menekankan bahwa Gereja harus terlibat secara nyata dalam menghadirkan sistem ekonomi yang lebih adil dan bersaudara. Ia menegaskan bahwa berbicara tentang ekonomi Fransiskus berarti berbicara tentang keberpihakan: berpihak kepada mereka yang tersingkir, yang tidak memiliki suara, dan yang paling terdampak oleh ketimpangan.

Sebagai penutup, beliau mengajak seluruh peserta untuk tidak berhenti pada pertemuan atau diskusi belaka. Homili ini menjadi ajakan untuk bertindak dan menjadikan Gereja sungguh relevan dan hadir sebagai tanda pengharapan di tengah dunia yang sering kehilangan arah. Dalam semangat Santo Fransiskus Asisi, Monsinyur Didik mengingatkan bahwa transformasi tidak akan dimulai dari konsep besar, tetapi dari langkah kecil yang konsisten, rendah hati, dan berpihak.


Ekonomi Fransiskus : Menimba dari Warisan Paus Fransiskus 
Usai Misa Pembuka Sesi malam dilanjutkan dengan pemaparan dari RP Telesphorus Krispurwana Cahyadi, SJ mengenai Ekonomi Fransiskus. Ia menekankan bahwa Gereja harus berpihak pada kelompok rentan dan ikut serta menciptakan struktur ekonomi yang lebih manusiawi dan bersaudara. Ia pun menegaskan bahwa gagasan tentang ekonomi baru yang lebih adil dan bersaudara tidak dapat dipisahkan dari dua pondasi utama yaitu Ajaran Sosial Gereja dan spiritualitas Santo Fransiskus dari Assisi. Ia menyoroti bahwa sejak ensiklik Rerum Novarum oleh Paus Leo XIII hingga seruan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’, Fratelli Tutti, Laudate Deum, dan Querida Amazonia, Gereja terus menyerukan perlunya tata dunia yang lebih manusiawi, adil, dan lestari. Sayangnya, ajaran sosial Gereja ini masih belum dikenal dan dimaknai secara luas di tengah umat.

Dalam konteks itu, Paus Fransiskus menghadirkan inisiatif “Economy of Francesco”, sebuah forum internasional yang melibatkan kaum muda untuk merancang ulang sistem ekonomi global yang lebih memihak pada kesejahteraan bersama. Assisi, tempat pertemuan ini diadakan, menjadi simbol spiritual yang kuat sebuah panggilan untuk membangun tata ekonomi baru yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga mendengarkan suara mereka yang kecil, miskin, dan tersisih.

Pastor Krispurwana menekankan bahwa kaum muda adalah pusat harapan bagi perubahan itu. Mereka bukan hanya masa depan, tetapi juga masa kini Allah the now of God, seperti disebutkan dalam Christus Vivit. Paus Fransiskus percaya bahwa perubahan dunia, termasuk dalam bidang ekonomi, tidak akan mungkin tanpa keterlibatan orang muda secara aktif dan kritis.

Inspirasi utama dari Santo Fransiskus Assisi dalam hal kemiskinan, kerendahan hati, dan kesederhanaan diangkat sebagai dasar moral dan spiritual bagi ekonomi baru yang dikehendaki. Paus Fransiskus bermimpi tentang Gereja yang miskin dan untuk kaum miskin; Gereja yang misioner, transparan, rendah hati, dan berpihak. Sebuah Gereja yang berani keluar dari zona nyaman dan hadir nyata dalam penderitaan masyarakat.

Lebih jauh, Pastor Krispurwana mengajak para peserta untuk melihat bahwa krisis ekonomi global hari ini berkaitan erat dengan kerusakan lingkungan, meningkatnya kesenjangan sosial, serta hilangnya kepekaan terhadap martabat manusia. Banyak proyek pembangunan dikemas secara menarik namun menyembunyikan eksploitasi, polusi, dan ketidakadilan. Ia mengutip kritik Paus atas model ekonomi yang didorong oleh logika “untung sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya” yang justru membunuh masa depan bersama.

Ekonomi Fransiskus bukanlah konsep idealistis, melainkan sebuah panggilan profetis. Kita tidak bisa hanya berbicara tentang orang miskin tanpa sungguh hadir bersama mereka. Kita tidak bisa membangun dunia yang lebih adil jika hanya mengandalkan pertumbuhan angka dan bukan penguatan nilai. Karena itu, Paus menyerukan perlunya kultur perjumpaan: mendengarkan semua suara, memperhatikan yang terpinggirkan, dan membangun sistem ekonomi yang benar-benar berakar pada belas kasih, bukan sekadar efisiensi teknokratis.

Dalam semangat ini, Pastor Krispurwana mengajak seluruh Gereja terutama para pemimpin pastoral untuk menjadi bagian dari perubahan paradigma ekonomi. Pembangunan sejati harus berpihak pada mereka yang lemah, memberi ruang bagi bumi untuk bernapas, dan memungkinkan semua orang, termasuk yang tertinggal, mendapatkan akses yang adil terhadap kemajuan.



Hari Ketiga: Mendengar, Berbagi, dan Mendorong Tindakan Nyata
Hari ketiga dimulai dengan cek kesehatan bersama yang disediakan bagi seluruh peserta. Setelah itu, masing-masing keuskupan mempresentasikan inisiatif PSE (Pengembangan Sosial Ekonomi) dan pendampingan UMKM yang telah dilakukan di keuskupan masing-masing, termasuk tantangan dan buah-buah yang dihasilkan.

Kegiatan pun dilanjutkan dengan talkshow interaktif bersama RD Agustinus Deddy Budiawan selaku Ketua Biro UMKM Keuskupan Bogor, Ibu Monica Kusjanti selaku Ketua Umum PUKAT Keuskupan Bogor, dan Ibu Caren Caterina selaku Ketua Yayasan Teratai Kasih. 

Ketiganya berbagi pengalaman konkret pemberdayaan ekonomi umat, mulai dari koperasi, pelatihan usaha kecil, hingga pelayanan kepada kelompok rentan. Talkshow ini menunjukkan bagaimana sinodalitas dapat dihidupi secara nyata melalui kolaborasi lintas bidang.

Hari Keempat: Perutusan dalam Semangat Sinodalitas
Di hari terakhir, para peserta merangkum seluruh rangkaian pertemuan dan menyusun langkah-langkah konkret untuk gerak bersama ke depan. Pertemuan ditutup dengan doa bersama dan ungkapan syukur atas kebersamaan yang telah terjalin.

Kebersamaan selama empat hari ini menjadi peneguhan bahwa Gereja dipanggil untuk terus berjalan bersama umat, tidak hanya melalui pelayanan sakramental, tetapi juga melalui keterlibatan sosial yang transformatif.

Temu Uskup Regio Jawa 2025 yang diselenggarakan di Keuskupan Bogor telah resmi berakhir, namun semangatnya terus hidup. Pertemuan ini bukan sekadar agenda tahunan, tetapi menjadi ruang sinodal untuk saling mendengarkan, berbagi pengalaman pastoral, dan meneguhkan arah pelayanan di tengah dunia yang terus berubah.

Dengan tema besar “Ekonomi Fransiskus: Gereja ‘Peziarah Pengharapan’ Berjalan Bersama dalam Membangun Tatanan Ekonomi yang Lebih Adil dan Bersaudara,” para Uskup dan Pastor Kuria dari seluruh Keuskupan di Pulau Jawa diajak merenungkan peran nyata Gereja dalam menjawab ketimpangan dan penderitaan sosial, melalui tindakan kasih dan pemberdayaan. Semoga perjumpaan ini membawa buah-buah kebaikan dan pengharapan bagi umat, bagi masyarakat, dan bagi Gereja. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Enable Notifications OK No thanks