AJARAN GEREJA KATOLIK
MENGENAI
BEBERAPA POKOK PERKAWINAN
Pengantar
Pemahaman menentukan penerapan. Ungkapan serupa dan memaksudkan yang sama adalah: interpretasi menentukan aplikasi. Atau juga, pengertian menentukan kehidupan nyata sehari-hari. Pandangan atau keyakinan itu berlaku juga pada perkawinan. Ketika pengertian mengenai perkawinan keliru atau tidak tepat, pemikiran, pembicaraan, sikap, dan tindakan yang berkenaan dengannya umumnya keliru atau tidak tepat juga. Sebaliknya, apabila pengertian mengenai perkawinan itu benar, penghayatan atau perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari akan benar juga.
Dalam rangka penetapan Tahun Iman, Benediktus XVI mengatakan hal yang senada berkenaan dengan Konsili Vatikan II, “If we interpret and implement it guided by a right hermeneutic, it can be and can become increasingly powerful for the ever necessary renewal of the Church.” (Porta Fidei, 11 October 2011, n. 5). Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Upaya untuk mengerti dan menerapkannya kurang dilakukan dan bahkan lebih dipimpin oleh kepentingan lain yang tidak semestinya. Akibatnya, Gereja mengalami kemunduran atau perkembangan yang tidak baik.
Berangkat dari keyakinan itu, berikut ini disampaikan beberapa pokok perkawinan beserta pengertiannya yang benar. Disebut benar karena dinyatakan demikian dalam terang iman oleh Gereja melalui dokumen dan penjelasannya. Dengan semua itu diharapkan bahwa perkawinan akan sungguh-sungguh berperan sebagai pembangun atau pembentuk keluarga[1] yang adalah sel pertama dan utama[2].
Semua yang akan disampaikan diambil terutama dari Konsili Vatikan II, dokumen yang sifatnya eklesiologis (sebelumnya mendapat bahan terutama dari Kitab Hukum Kanonik 1917 serta dokumen Casti Connubii, encyclik yang ajarannya sangat divinistis). Sesudahnya diperdalam, diperjelas, diperkaya, atau diperlengkapi dengan dokumen post-konsili Humanae Vitae, encyclik yang lebih antropologis, dan akhirnya Familiaris Consorstio, anjuran apostolik yang bersifat personalistis. Dari semua itu, tampaklah bahwa landasan atau rujukan utamanya adalah Kitab Suci.
Tujuan
Dalam peristiwa penciptaan Tuhan bersabda, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia” (Kej 2, 18). Dari kata-kata itu tampak bahwa Tuhan menciptakan perempuan (Hawa) agar laki-laki (Adam) itu baik. Tuhan menciptakan pasangan untuk kebaikan. Bahwa dengan kehadiran pasangan itu manusia dapat bergembira (bdk. Kej 2, 23), hal itu lebih merupakan satu dari akibat yang mungkin ditimbulkannya. Akibat lain yang juga dapat dihasilkannya adalah kekecewaan karena pasangan dianggap sebagai sumber petaka (bdk. Kej 3, 12).
Berdasarkan kebenaran itu, melalui Kitab Hukum Kanonik 1983 kan. 1055 § 1, Gereja dengan tegas dan jelas merumuskan bahwa tujuan perkawinan adalah: kebaikan pasangan atau suami-istri, kelahiran, dan pendidikan anak[3]. Ketiga tujuan itu satu dan tidak terpisahkan. Urutan penulisan tidak memaksudkan tahapan prioritas tetapi lebih menunjuk pada proses yang umumnya terjadi: adanya hubungan memungkinkan kelahiran anak dan kelahiran anak mengharuskan pendidikan[4]. Karena itu, tak dapat dibenarkan: mengutamakan yang satu dan meremehkan yang lain atau memperjuangkan yang satu dan mengurbankan yang lain.
Kebaikan pasangan meliputi:
- Benevolence: commitment atau kehendak agar pasangan semakin berkembang sebagai pribadi dan sebagai orang beriman, baik berkenaan dengan keanggotaannya dalam keluarga, lingkungan kegamaan, maupun masyarakat pada umumnya. Lebih umum ha ini disebut sebagai niat baik.
- Partnership: perlakuan terhadap pasangan sebagai pribadi yang sejajar terlepas dari keunikan, kekhasan, atau perbedaan lainnya. Perkawinan adalah proyek hidup tempat mereka berdua mengambil bagian secara sama sebagai share-holder-
- Companionship: perlakuan terhadap pasangan sebagai teman seperjalanan yang senasib-sepenanggungan menuju hidup bahagia kekal di surga. Asal katanya cum yang berarti bersama dan panis yang berarti roti. Maksudnya, pasangan adalah teman berbagi sesuatu yang paling dasariah untuk sampai tujuan.
- Friendship: perlakuan terhadap pasangan sebagai pribadi terpercaya untuk mengetahui dan menjaga rahasia pribadi paling dalam. Karena itu, pasangan jugalah yang paling mudah dapat menyakiti atau melakukan pengkhianatan paling keji.
- Care: perhatian sekaligus upaya memenuhi kebutuhan pasangan. Tanpa diberitahu atau diminta pasangan telah mengerti dan berusaha berpikir, berkata-kata, bersikap, dan bertindak memenuhi kebutuhan, harapan, dan cita-cita yang lain.
Kelahiran mengandung berbagai hal yang diantaranya:
- Hubungan seksual yang wajar dan manusiawi (in humano modo; 1061 § 1): hetero-seksual, personal (dengan pertimbangan akal-budi dan dilandasi kehendak bebas), serta langsung.
- Ungkapan dari pemberian diri yang utuh (self-giving): diperlukan komunikasi yang jujur dan hormat akan martabatnya.
- Orangtua yang bertanggung-jawab (paternitas responsabilis) terhadap Tuhan, diri sendiri, pasangan, anak yang mungkin lahir, masyarakat, Gereja, dan alam semesta[5]:. Pertimbangannya bukan hanya soal senang atau tidak senang (like or dislike), tetapi etis dan spiritual atau religius juga).
- Keluarga Berencana Alamiah (KBA): hubungan seksual yang dilakukan berdasarkan siklus biologis.
Pendidikan anak (kan. 795, 1136)[6]
- Fisik: berkaitan langsung terutama dengan makanan-minuman, pakaian, dan tempat-tinggal. Mengenai itu semua, prioritas hendaknya diletakkan pada segi fungsionalnya dan bukan estetiknya.
- Moral: berkenaan dengan yang baik dan buruk. Karena itu, pelaksanaannya tidak mungkin dilepaskan dari iman. Sejak dini hal itu harus ditanamkan dan tidak mungkin dibiarkan hingga anak dapat memilih sendiri.
- Intelektual: menunjuk pada kemampuan abstraktif dan asosiatif. Anak harus dibimbing agar perlahan-lahan dan sesuai dengan usianya dapat menangkap dan mengerti berbagai hal yang tidak bendawi dan tampak secara langsung serta hubungan antar peristiwa.
- Sosial: mengenai penempatan diri sendiri dan orang lain sesuai dengan tempatnya. Orang lain adalah sesama yang bermartabat sama walaupun masing-masing memiliki keunikan, kekhasan, dan perbedaan.
- Kultural: berhubungan dengan konstelasi nilai pada umumnya. Manusia lahir selalu dalam budaya tertentu. Pertama-tama hendaknya anak dibimbing untuk mengenal pandangan, harapan, dan cita-cita masyarakat. Terhadap itu, orang harus berusaha menyesuaikan diri dan sekaligus bersikap kritis.
Identitas dan Misi
Yang dimaksud dengan identitas adalah jawaban atas pertanyaan “apakah perkawinan itu”. Jawaban yang langsung dari Kitab Suci adalah dua pribadi yang menjadi satu daging (bdk. Kej 2, 24). Bertumpu pada hal itu, Konsili Vatikan II menyatakannya sebagai komunio hidup dan kasih (communio vitae et amoris)[7]. Sedangkan, kan. 1055 § 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah kesenasiban seluruh hidup (consortium totius vitae)[8].
Yang pertama menunjuk perkawinan sebagai hubungan yang sangat erat. Yang kedua menunjuk perkawinan sebagai persekutuan laki-laki dan perempuan yang meliputi fisik (tubuh), tabiat, psikhis, psikologis, hati, intelektual, kehendak, cita-cita, dan sebagainya[9]. Yang ketiga menegaskan perkawinan sebagai hubungan kasih antar-pribadi yang konkrit dan sehari-hari. Secara bersamaan, ketiganya menegaskan perkawinan sebagai hubungan yang eksklusif, total, dan perpetual atau selamanya. Hubungan itu eksklusif karena tertutup bagi pihak lain. Hubungan itu total karena tidak menyisakan sesuatu. Hubungan itu perpetual atau selamanya karena tidak ada saat untuk berhenti.
Menyatu dengan identitas itu adalah misi perkawinan. Misi yang dimaksud adalah tanggung-jawab yang harus dilaksanakan oleh orang yang merengkuh hidup perkawinan. Rumusannya adalah: menjaga, menyatakan, dan mengkomunikasikan kasih. Menjaga berarti mempertahankan kasih yang telah ada dan tumbuh antara pasangan agar tetap ada dan terus tumbuh. Menyatakan berarti membuat kasih itu memiliki bentuk, mempunyai wujud, mungkin diinderai, dan dapat dialami. Mengkomunikasikan berarti mengupayakan kasih itu sampai kepada pihak lain terutama pasangan, ditangkap, dimengerti, dan dialami olehnya.
Terhadap identitas, orang beriman diharapkan untuk semakin menjadi dirinya sendiri. Artinya, orang yang menikah terikat kewajiban dan hak untuk semakin menjadi persekutuan hidup dan kasih itu. Terhadap misi, orang beriman diharapkan untuk semakin sempurna melaksanakan tanggung-jawabnya. Artinya, orang yang menikah terus berjuang dalam menjaga, menyatakan, dan mengkomunikan kasih.
Khusus bagi yang dibaptis, perkawinan adalah sakramen. Artinya, identitas dan misi perkawinan itu berdasarkan dan bersumberkan pada hubungan kasih Kristus dan GerejaNya. Bersamaan dengan itu, perkawinan menandakan dan bahkan mengambil bagian dalam kasih itu[10]. Kristus teladannya yang utama. Dalam mencintai Ia senantiasa terbuka akan pengampunan dan sekaligus bersedia untuk mengurbankan diri sehabis-habisnya untuk keselamatan yang dicintai. Mengenai kasih dan pengampunan itu, perlu diperhatikan sungguh-sungguh agar tidak terjebak dalam sikap membenarkan yang salah, membiarkan dosa merajalela, atau mendukung orang dalam kejahatannya (bdk. Mt 7, 6).
Ciri hakiki
Kata yang digunakan dalam bahasa Latin adalah proprietas (atau bentuk jamaknya proprietates) esensial atau pokok (kan. 1056). Yang dimaksudkan dengan kata itu adalah sesuatu yang ada, tumbuh, dan menyatu dengan perkawinan itu sendiri. Dalam Gereja Katolik diyakini bahwa sesuatu itu bersifat kodrati dan memang demikian sejak adanya perkawinan. Seperti halnya jantung atau paru-paru bukan sekedar unsur konstitutif atau milik tubuh, demikian pula sesuatu itu bagi perkawinan. Proprietas itu ada dua hal, yaitu:
- Unitas: jawaban atas kerinduan paling dalam setiap orang yang benar-benar mencintai. Sekurang-kurangnya mengandung 3 hal, yaitu: perkawinan monogami, subyek satu keluarga mandiri, pasangan kekasih yang tetap. Wujudnya yang paling biasa dan sederhana adalah: keduanya tinggal di satu tempat tinggal, makan di satu meja makan, dan tidur di satu tempat tidur (bdk. kan. 1151).
- Indissolubilitas: jawaban atas kerinduan paling dalam setiap orang yang benar-benar mencintai. Sekali memasuki perkawinan yang sah, orang tidak mungkin keluar dari perkawinan itu. Tercipta di antara keduanya ikatan (vinculum) yang tidak dapat diputuskan (kan. 1134).
Panggilan
Hidup berkeluarga adalah panggilan. Oleh Gereja perkawinan disebut panggilan umum. Sementara itu, Klerikus, Hidup Bakti, dan Awam selibat disebut panggilan khusus. Perkawinan disebut panggilan umum karena kebanyakan orang dipanggil untuk menempuh jalan itu. Klerikus, Hidup Bakti, dan Awam selibat disebut panggilan khusus karena tidak banyak orang yang dipanggil untuk menempuh jalan itu. Karena semua itu panggilan, Gereja meyakini bahwa Tuhanlah yang pertama-tama berprakarsa dan menghendaki, sedangkan manusia menjawab dan taat.
Berdasarkan pada pengertian dan keyakinan itu, Gereja mengajarkan dua hal penting berikut. Yang pertama adalah kesamaan sejati dalam martabat dan kegiatan bagi semua yang dibaptis (kan. 208). Sebagai umat beriman – apa pun bentuk hidup yang direngkuhnya – memiliki kedudukan yang sama dan nilai karya yang sama. Perbedaan yang disebabkan oleh bentuk hidup, tugas, dan keadaannya yang konkrit, hendaknya dipandang, dimengerti, dan diyakini sebagai hal yang harus saling mendukung, memperkarya, dan melengkapi.
Yang kedua adalah kebebasan dalam memilih bentuk hidup sesuai dengan hati nurani masing-masing (bdk. kan. 219). Karena hal ini berkaitan langsung dengan hak asasi dan iman, tidak seorang pun atau lembaga apa pun dapat atau boleh memaksa atau menakutinya dalam memilih bentuk hidup. Memaksa diri sendiri saja tidak mungkin, apalagi memaksa orang lain! Pengalaman membuktikan bahwa pemaksaan dalam pemilihan bentuk hidup hanya akan menimbulkan kerugian dan menciptakan masalah untuk hidup dan berkembang secara umum.
Bersama dengan pengertian itu adalah keyakinan bahwa Tuhan senantiasa membantu dengan berbagai hal yang perlu agar setiap orang dapat melaksanakan panggilan beserta hak dan kewajibannya sebaik-baiknya. Karena itu, campur-tangan Tuhan hendaknya diberi tempat yang cukup dan disambut dengan semestinya. Singkatnya, orang harus berusaha dengan segenap hati, akal-budi, jiwa, dan tenaga serta sekaligus terbuka, rela, dan bersedia bekerja-sama dengan rahmat Tuhan.
Bogor, 20 Juni 2015
R.D. Y. Driyanto
[1] GS 48.
[2] AA 11; IOANES PULUS II, Lettera alle Famiglie, Gratissimam Sane, 2 Febr. 1994, AAS 86 (1994), n. 4.
[3] GS 48 dan 50.
[4] HV 9 (kasih itu unitif, prokreatif, dan edukatif).
[5] HV 10.
[6] GS 48, 61; GE 1.
[7]FC 17.
[8] Bdk. GS 48 dan 50.
[9]FC 19.
[10] LG 11.
Salam damai Kristus,
Romo mengenai pemberian kanonik kepada pasangan yng akan melangsungkan pernikahan jika Romo Paroki ybs tidak berkenan memberikan kanonik dengn alasan tidak melakukan pemberkatan, sebaiknya bagaimana, tks
Romo bagaimana kalau wanita Katolik dan pria agama lain dalam perjalanannya wanita minta surat kanonik tapi tidak sampai 2 minggu sudah minta perkawinan karena wanita sudah terlanjur dan kemudian anak lahir. Dlam proses perkawinannya digereja melalui misa pemberkatan. Kalau begini case nya bagamana Gereja Katolik memandangnya. Trims Romo.
Mohon pencerahannya romo, saya wanita katolik. Kebetulan saya berencana untuk kenikah dengan duda katolik (cerai hidup). Apa langkah yang harus saya ambil?