Sikap Terhadap Hukum Gereja
Kenyataan dalam kehidupan
Berdasarkan pada pengalaman, pengamatan, dan penilaian atas tanggapan atau reaksi umat beriman kristiani (Klerikus: yang ditahbiskan, Hidup Bakti: yang mengikrarkan tiga nasihat injili, dan Awam: yang tidak ditahbiskan dan tidak mengikrarkan tiga nasihat injili) terhadap Hukum Gereja, dapat ditemukan dan disimpulkan adanya kenyataan berikut. Yang pertama, hanya sedikit orang bersikap positif terhadap Hukum Gereja. Yang kedua, kebanyakan orang mempunyai sikap yang cenderung negatif, yaitu: menghindar, menolak, atau bahkan menentang.
Ditambahkan pada sikap negatif tetapi merupakan kebalikan ekstrim dari sikap kebanyakan orang itu adalah legalis atau formalis. Bentuk dari sikap ini adalah kecenderungan untuk menerapkan hukum dalam segala segi kehidupan dengan segala detailnya. Karena kecenderungan itu, tidak jarang maksud dan tujuan hukum yang sebenarnya justru terlalaikan. Yang penting di sini adalah pelaksanaan hukum dalam waktu apa pun, di mana pun, dan dalam keadaan apa pun. Akibatnya, banyak nilai atau kepentingan lain yang dengan mudah dikurbankan.
Kemungkinan penyebabnya
Seperti sikap pada umumnya, sikap negatif umat beriman terhadap hukum, pastilah tidak terjadi atau terbentuk secara serta-merta dan begitu saja. Sikap itu pasti terbentuk lewat pemahaman dan pengalaman yang berproses dari waktu ke waktu. Berikut ini adalah beberapa pemahaman, latar-belakang, atau alasan lain yang berperan dalam pembentukan dan konstatasi dari sikap itu:
- Anggapan, pendapat, dan keyakinan bahwa semua yang berkenaan dengan iman, hal spiritual, dan urusan pribadi tak ada kaitan, relevansi, dan signifikasinya dengan hukum;
- Kurangnya atau tiadanya keteladanan dari para pemimpin atau yang dituakan dalam kehidupan bersama,
- Praktek atau pelaksanaan hukum yang tidak semestinya, yang cenderung sebagai bentuk atau cara pemanfaatan hukum untuk mencari kebenaran, kemenangan, dan keuntungan sendiri;
- Kesulitan rumusan, susunan, dan arti bahasa hukum sehingga menyebabkan keengganan, ketakutan, dan ketidakmauan untuk berusaha sampai pada pengertian dan penerapan hukum yang semestinya;
- Kekeliruan atau kesalahpahaman mengenai kata-kata, sikap, dan tindakan Yesus.
Kata, sikap, dan tindakan Yesus
Kata, sikap, dan tindakan Yesus yang sering dipahami secara salah atau keliru oleh umat beriman kristiani itu dapat dirunut, diusut, atau ditemukan asal-muasal serta keterangannya dalam Alkitab dan Injil khususnya. Berikut disampaikan beberapa ungkapan dalam kata-kata, sikap, dan tindakan Yesus itu.
Yesus melanggar hukum. Injil menceritakan bahwa beberapa kali Ia melanggar ketentuan atau aturan Sabath dengan menyembuhkan orang sakit. Ia juga pernah memuji orang Samaria yang menurut orang Yahudi dianggap sebagai bangsa campuran dan telah jauh dari tradisi yang benar sehingga selayaknya dijauhi. Selain itu, Ia juga pernah menemui seorang perempuan yang secara normatif melanggar tatanan moral dan sosial secara sendirian di suatu sumur pada waktu yang tidak lazim. Berdasarkan pada kenyataan itu, orang beriman kristiani dapat sampai pada anggapan bahwa hukum memang tidak bernilai, tidak mengikat, dan tidak perlu. Mereka berkesimpulan bahwa sekurang-kurangnya hukum itu memang tidak harus ditaati.
Yesus tidak menghukum orang yang berdosa. Pernah terjadi dalam kehidupan Yesus, seorang perempuan yang sangat berdosa di mata publik datang, mendekat, dan membasuh kaki Yesus. Terhadap perempuan itu Yesus tidak menolak atau mengusirnya tetapi membiarkannya dan bahkan bersikap baik kepadanya. Sikap yang sama pernah Ia tunjukkan terhadap seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Menurut hukum perempuan itu harus dirajam hingga mati. Ketika perempuan itu dihadapkan kepadaNya, Yesus tidak melakukan sesuatu kecuali mengatakan kepada massa bahwa yang tidak bersalah hendaklah ia melemparkan batu yang pertama kali. Atas sikap Yesus itu, orang kemudian menilai bahwa hukum memang tidak berguna sama sekali karena sanksi tidak dijatuhkan pada orang yang jelas-jelas melanggar norma.
Yesus membela pelanggaran. Sekurang-kurangnya dua kali Yesus membela para muridNya yang melakukan pelanggaran terhadap adat-istiadat setempat. Yang pertama ketika para murid memetik gandum di hari Sabath dan yang kedua sewaktu para murid makan dan minum tanpa lebih dahulu membasuh tangan mereka. Terhadap orang-orang yang mengecam tindakan para murid itu Yesus mengingatkan peristiwa di bait Allah. Saat itu Daud dan para pengikutnya yang lapar makan roti sesajian yang seharusnya tidak boleh mereka makan. Terhadap yang mengecam tindakan para murid yang tidak mencuci tangan, Yesus menegaskan pentingnya kesucian hati daripada kebersihan fisik. Atas tindakan Yesus ini, orang menilai bahwa Yesus membenarkan pelanggaran.
Yesus mengecam Ahli Taurat dan Orang Farisi. Dalam berbagai kesempatan Yesus berkonfrontasi dengan kedua kelompok itu. Dengan tajam dan keras Yesus melontarkan kritik terhadap sikap dan tindakan mereka. Dengan tegas pula Yesus menyatakan bahwa sikap dan tindakan mereka adalah salah. Karena para Ahli Taurat dan kaum Farisi adalah tokoh-tokoh pemegang hukum yang ketat dan pelaksana hukum yang taat, orang menilai bahwa Yesus adalah seorang yang anti hukum.
Bukan hukum tetapi sikap yang salah yang ditolak
Benarkah Yesus seorang yang menolak atau bahkan anti norma, adat-istiadat, tradisi, atau hukum? Pertanyaan ini sesungguhnya dapat langsung dilihat pada ucapan Yesus yang sangat terkenal mengenai norma atau hukum pada umumnya dalam Mt 5, 17-48. Ia dengan tegas berkata bahwa Ia tidak menghapus aturan yang telah ada, baik Taurat maupun para Nabi. Lebih dari itu, Ia justru mempertajam pengertiannya, memperluas penerapannya, dan menegaskan sanksinya. UcapanNya yang berulang-ulang berbunyi: Kamu pernah mendengar …, tetapi Aku berkata …. Ia tidak menghapus norma tetapi melengkapi atau menggenapinya. Bahkan, Ia memberikan perumusannya yang baru, singkat, lebih mendasar, dan padat dalam norma kasihNya (Mt 22, 27-29).
Ketentuan Sabath yang Ia langgar merupakan cara bagiNya untuk mengajar orang keluar dari kepicikan dan kekerdilan pandangan. Ada nilai penting yang harus dipahami dan diusahakan perwujudannya daripada hanya sekedar diam, tidak berbuat apa-apa, atau tidak pergi melebihi jarak tertentu. Apalagi, membiarkan orang sakit begitu saja padahal ada kemungkinan disembuhkan atau orang dalam kelaparan padahal ada makanan di situ. Berkenaan dengan tindakanNya memuji orang Samaria, Ia ingin mengajarkan bahwa manusia tidak dinilai dari latar-belakang kesukuannya tetapi lebih oleh perbuatannya. Sedangkan berkenaan dengan seorang perempuan yang sengaja ditemuiNya sendirian di sumur itu, Yesus ingin mengajarkan bahwa orang yang berdosa berkemungkinan untuk berubah atau bertobat. Lebih daripada itu, orang yang bertobat itu sungguh dapat menjadi alat yang efektif untuk membawa orang-orang lain kepada Tuhan.
Kenyataan bahwa Yesus tidak menghukum seorang pelacur (Maria Magdalena) dan perempuan yang berzinah, menyatakan dan menegaskan luhurnya kehidupan dan pentingnya pertobatan. Hukum rajam jelas tidak adil. Perzinahan memang suatu pelanggaran dan dosa yang berat, tetapi tetap tidak setimpal bila harus dibayar dengan hidup. Lagi pula, hukum itu jelas tidak adil karena kesalahan hanya ditimpakan pada satu pihak, yakni perempuan. Sementara itu, laki-laki pasangannya dibiarkan bebas begitu saja. Begitu pula tentang hidup melacur. Perbuatan itu jelas pelanggaran dan dosa berat, tetapi pengucilan seumur hidup bukanlah bayaran yang pas bagi pelakunya. Apalagi, dalam hal ini pihak yang disalahkan dan harus menerima hukuman adalah perempuan.
Berkaitan dengan pembelaan Yesus terhadap para muridNya yang melanggar adat-istiadat, Ia ingin mengajarkan sikap yang benar terhadap hukum pada umumnya. Sebaik apa pun sebuah hukum tidak pernah boleh bertentangan dengan hidup itu sendiri. Demi mempertahankan hidup semua hukum kehilangan dayanya yang mengikat dan mewajibkan. Karena itu, keadaan yang sungguh nyata dan dialami harus diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam setiap pelaksanaan hukum.
Yang terakhir adalah tentang Yesus yang menentang Ahli Taurat dan orang Farisi. Yesus sama sekali tidak menolak atau anti hukum. Sebaliknya, Yesus menerima dan taat kepada hukum. Ia membenci dan menentang sikap yang salah terhadap hukum. Ia melawan kemunafikan. Ia juga melawan praktek hukum yang semata-mata untuk membenarkan diri, memenangkan kepentingan sendiri, dan mencari keuntungan sendiri. Sekaligus di sini Ia menandaskan bahwa yang lebih layak untuk diperjuangkan bukanlah sekedar tampilan luar yang mengesankan tetapi ketulusan hati, kejujuran, dan keikhlasan dalam setiap perbuatan.
R.D. Y. Driyanto