Fleksibilitas Aturan

Loading

  • Rabu, 22 Januari 2020, Pekan Biasa II, Hari kelima pekan doa sedunia
  • Bacaan I          : 1Sam. 17: 32-33.37.40-51
  • Mazmur           :Mzm. 144: 1.2-9-10
  • Injil                  : Mrk. 3: 1-6
Di suatu kota kecil, ada proyek pembangunan jalan raya beraspal sekitar 10 km. Pada dua hari pertama, jalan raya sekitar 10 km selesai dikerjakan. Orang-orang yang menggunakan jalan tersebut masih bingung karena belum ada garis marka jalan.  Pada dua hari kedua, garis marka jalan telah selesai dibuat dan orang-orang bisa berkendara dengan tenang, tetapi ketika menemukan pertigaan atau perempatan jalan, orang-orang ragu-ragu dan saling menunggu untuk dapat terus jalan. Pada dua hari ketiga, lampu lalu lintas di setiap cabang jalan telah dipasang sehingga orang-orang dapat berkendara dengan tenang dan aman.

Injil hari ini menceritakan perbedaan pandangan antara kaum Farisi dengan Yesus perihal Hari Sabat. Sesuai dengan tradisi, kaum Farisi memegang teguh aturan bahwa Hari Sabat tidak boleh dipergunakan untuk melakukan apa-apa karena dikhususkan untuk Yahwe. Berbeda dengan mereka, Yesus berpendapat bahwa Hari Sabat boleh diisi dengan kegiatan yang baik, alhasil Yesus menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya pada hari sabat. Kaum Farisi tidak suka akan tindakan Yesus tersebut dan terus mempersalahkan-Nya. Mereka menganggap apa yang dilakukan Yesus adalah hal yang salah karena tidak sesuai dengan tradisi, padahal apa yang dilakukan Yesus adalah kebenaran. Yesus memperlakukan aturan bukan sebagai hal yang kaku, melainkan menambahkan unsur kasih dalam aturan tersebut karena Yesus lebih tinggi dari pada aturan hukum Taurat.

Di berbagai tempat, lembaga, negara, atau sekolah terdapat aturan-aturan, baik itu yang bersifat khusus maupun umum. Dalam lingkup pergaulan pun terdapat aturan sederhana untuk menjunjung moral yang beradab, seperti hormat kepada yang lebih tua, meminta maaf ketika salah, berterima kasih ketika sudah ditolong, dsb. Aturan dibuat bukanlah karena ingin sok-sokan mengatur atau ingin terlihat gagah dengan aturan yang se-gambreng. Aturan dibuat karena ada unsur cinta kasih kepada orang-orang agar orang-orang selamat atau tidak ingin orang tersebut celaka dan jatuh dalam kesalahan. Seperti cerita di atas, garis marka jalan dan lampu lalu lintas dibuat karena pemerintah ingin orang yang berkendara di jalan itu tidak mengalami kecelakaan dan merasa aman serta nyaman. Dengan demikian, aturan mesti dipahami sebagai alat yang membantu kita untuk mencapai keselamatan, bukan alat yang mengekang kebebasan kita. Yesus pun memahami ada unsur cinta kasih dalam aturan, sehingga ia berani menyembuhkan orang pada hari sabat.

Ketika berhadapan dengan aturan di manapun tempat kita berada, kita dapat menentukan sikap. Apakah kita ingin fleksibel terhadap aturan tersebut seturut konteks dan kebutuhan? Atau apakah ingin bersikap kaku dan menjalankan aturan 100% apapun situasi dan kondisinya? Yesus mengajarkan kita untuk melihat unsur cinta kasih dalam aturan lalu berani menjalankan aturan tersebut dengan peduli terhadap kondisi yang dapat berubah sewaktu-waktu. Manusia harus menjadi tuan atas aturan, bukan sebaliknya. Semoga pelaksanaan aturan-aturan yang ada dapat membuat kita semakin mengasihi sesama dan dekat dengan Tuhan. Fr. Ignatius Bahtiar

Tuhan Yesus, Engkau menunjukkan betapa pentingnya tindakan cinta kasih dari pada sekadar mematuhi aturan yang baku. Bantulah kami, agar semakin mengasihi tanpa terkungkung oleh aturan-aturan yang ada. Amin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Enable Notifications OK No thanks