Bukan sebagai Tontonan

Loading

Rabu, 26  Februari 2020, Rabu Abu 
Bacaan I      : Yl. 2: 12-18
Mazmur        : Mzm. 51: 3-4.5-6a.12-13.14.17
Bacaan II     : 2Kor. 5: 20- 6: 2
Injil         : Mat. 6: 1-6. 16-18

DI suatu kelas Sekolah Menengah Pertama, seorang guru bertanya apakah ada yang bisa membantu membawakan buku-buku ke dalam ruang guru. Lalu, si Ujang menyanggupi dan membantu guru tersebut. Keesokan harinya, guru yang berbeda meminta kepadar para murid untuk mengambilkan peta dan globe dari perpustakaan. Si Ujang dengan sigap pergi ke perpustakaan untuk mengambilkan peta dan globe tersebut. Ketika tiba jadwal piket kelas, kelompok piket hari itu kesal karena si Ujang tidak pernah ikut membersihkan kelas. Si Ujang rajin membantu guru di kelas agar dipandang baik oleh guru dan teman-temannya, sedangkan tidak mau piket kelas karena tidak ada melihat saat dia membersihkan kelas.

Injil hari ini memberikan petunjuk bagaimana melakukan kehendak Allah dan kewajiban Agama, yakni laku tobat. Sejak zaman Yahudi sampai sekarang, laku tobat masih dipraktekkan. Yesus memperingatkan agar tidak melakukan laku tobat atas dasar motivasi yang salah, yakni agar dilihat orang atau dipuji orang. Laku tobat memanglah suatu kewajiban agama, namun Yesus menuntut adanya ketulusan hati dalam melakukan laku tobat tersebut.

Zaman ini dipenuhi dengan budaya masyarakat tontonan, yakni apapun yang dilakukan oleh manusia dapat menjadi tontonan yang menarik. Celakanya adalah, tidak semua hal yang baik dipertontonkan, namun dapat juga menjadi hal yang seru untuk ditonton. Di dalam media sosial, sering kejelekan orang menjadi tontonan yang laku, atau bencana yang dialami oleh orang lain menjadi tontonan yang nikmat. Hari ini kita mengawali masa prapaskah dengan abu pada dahi. Artinya kita akan memulai retret agung dengan laku tobat, yakni berpantang dan berpuasa. Berpantang dan berpuasa bukanlah suatu hal yang harus dipertontonkan dan ditunjukkan kepada banyak orang. Melakukan pantang dan puasa bukanlah suatu keberhasilan dan prestasi yang perlu diumbar. Mengumbar laku tobat adalah motivasi yang salah dalam melakukan kewajiban melakukan kehendak Allah.

Pantang dan puasa memang merupakan kewajiban, namun Yesus menuntut adanya suatu ketulusan hati dalam melakukannya. Bukan karena dipaksa oleh Gereja, bukan karena dipaksa oleh romo atau orang tua, dan bukan juga agar dipandang saleh oleh orang lain. Pantang dan puasa  dilakukan karena motivasi dan niat untuk memperbaiki diri dan dekat dengan Allah. Dengan demikian, laku tobat yang kita jalankan tidak menuntut pembalasan dari orang lain berupa pujian, pandangan baik karena kita yakin Allah sendiri yang akan membalas dengan cara-Nya sendiri. Semoga 40 hari ke depan kita semakin dekat dengan Allah melalui laku tobat kita masing-masing.

[Fr. Ignatius Bahtiar]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Enable Notifications OK No thanks