Sore ini, 2 Oktober 2016, secangkir kopi menemaniku duduk santai di teras Gereja Stasi Hati Kudus Yesus Keroit, Paroki St. Paulus Tompaso Baru, Minahasa Selatan – Sulawesi Utara. Sejauh mata memandang, kulihat perbukitan mengelilingi gereja yang sedang dalam tahap pembangunan dan hingga hari ini belum selesai. Lahan gereja berlokasi lebih tinggi di sekeliling pemukiman warga, menjadi lokasi pengganti dari lokasi gereja sebelumnya. Di tempat inilah aku mencoba memutar kembali pengalaman-pengalaman baru yang kudapat di sela-sela liputan berita selama kegiatan IYD 2016.
Serba Setengah
Perjalanan dari Bandara Manado hingga Kampung Keroit (tempat Live in sebagian OMK dari Keuskupan Bogor) dihiasi dengan pengalaman lebih dari 6 kali kata “Setengah”. Kata ini dimulai dari pertanyaanku kepada Panitia saat berada di bandara: “Berapa lama perjalanan ke Tompaso Baru?”, di jawab dengan ucapan: “4 setengah jam pastor!”. Wowww..jauh juga. Itulah ucapan dalam hatiku. Saat gelisah mulai menghinggapi karena ada pertanyaan dari peserta yang masuk melalui HP, “Romo, masih jauhkah? Kita sudah kebelet ini. Apakah tidak ada Rest Area?” pertanyaan itu aku teruskan ke Pastor Paroki Tompaso yang berada 1 mobil denganku. Dan jawabannya cukup singkat: “Kita So dekat , tinggal setengah jam lagi!” Sudah hampir setengah jam, tetapi tempat dituju belum juga kelihatan. Dengan suara lirih, aku pura-pura membaca pesan di HP ku soal peserta yang menanyakan: “adakah POM Bensin?” ternyata suara lirih ini ditanggapi: “tenang kurang dari setengah jam kita so sampai…” GOD” dalam hati ucapan itu keluar. Apakah ini gambaran yang sama seperti di kampungku untuk mengatakan suatu tempat sudah dekat hanya beberapa tikungan lagi, teryata tikungan yang dicari tidak keliahatan-kelihatan, alias tempat yang dituju masih sangat jauh. Hingga tiba di tempat penyambutan dari masyarakat, pastor ini kembali mengatakan: Kita akan berjalan kaki setengah jam menuju paroki. Aku pun hanya bengong mendengar kata “setengah” sudah terucap 4 kali.
Setelah acara penyambutan, para peserta dihantarkan ke lokasi Live in. Di dalam kendaraan, pertanyaan isengku muncul: “Berapa lama perjalanan ke Keroit?” di jawab oleh driver : “satu setengah jam pastor”. 5x aku mendengarnya. Hingga aku pun tertidur. Saat terbangun, pemandangan hutan di tengah kegelapan dengan jalanan kecil dan berkelok menjadi santapan dalam perjalanan. Driver memecah kesunyian dengan memutar tape mobil. Kemudian di satu kampung dia berujar: “Dari sini kita masih setengah jam sampai di Keroit”. Huaaaaa..kata setengah yang ke 6 kudengar tanpa perlu aku bertanya lagi. Dan itulah kata terakhir yang kudengar, karena ketika setengah jam kemudian aku bertanya dan mendapat jawaban 10 menit lagi setidaknya aku mendengar jawaban yang berbeda, meskipun pada kenyataannya “setengah” jam kemudian rombongan baru tiba di lokasi.
“Saya Pernah Ke Israel” – hingga Pabriknya Cap Tikus (CT)
Saat aku asyik mengetik cerita di atas, tiba-tiba seorang Ibu tua menghampiriku. Ia bercerita panjang lebar tetang kampung ini. Ia menceritakan, kampung ini menjadi andalan bagi paroki karena disini umatnya mayoritas katolik dan lebih banyak dari stasi lain. Beliau juga menceritakan dari segi perekonomian, umat di sini lebih berada dibandingkan dengan umat di stasi lain yang ada di paroki, karena umat rajin bekerja di kebun. Mata pencaharian utama umat di sini adalah penghasil cengkeh, gula aren hingga minuman Cap Tikus (CT). Sehingga tidak mengherankan perekonomian mereka lebih maju. Untuk Gereja pun, mereka tidak segan-segan memberikan yang terbaik, mereka boleh berbangga memiliki gereja lebih besar dibandingkan dengan gereja di pusat paroki dan stasi lain.
Sambil sedikit terisak, ibu tua ini berkata: “Pastor, saya pernah ke Israel” kemudian ia menceritakan pengalaman haru saat didatangi oleh perwakilan utusan sebuah bank dari Jakarta untuk menyampaikan berita bahwa ia mendapat hadiah untuk berziarah ke Tanah Suci. Berita ini menghebohkan umat 1 kampung sekaligus menjadi kebanggaan bahwa ada dari mereka bisa sampai ke Tanah Suci. Ia juga menceritakan kerinduan umat di tempat ini untuk bisa mendapatkan Pastor yang setiap hari bisa menemani dan melayani mereka.
Ahh..secangkir kopi ku ternyata memberikan inspirasi dan informasi baru bagiku. Tempat terpencil nan indah ini ternyata adalah salah satu penghasil Cap Tikus terbesar di Manado, minuman terkenal yang pernah aku rasakan saat berada di Asmat, Papua.
Dengungan motor yang ramai di lapangan membuyarkan lamunanku dan mengakhiri tulisanku. Tempat terpencil ini ternyata tidak se-sepi yang kubayangkan. Alunan musik dengan suara keras di beberapa rumah mengajakku untuk mengakhiri sesi “nongkrongku” di teras gereja. (RD. Y. Joned S)