“Apa yang kelihatan mustahil bagiku, itu sangat mungkin bagi-Mu…”
Sambil menggenggam tangan Bu Sheny, pendiri komunitas sekaligus interpreter bahasa isyarat dari KOMPAK, Christo menyenandungkan sepenggal lagu Mujizat Itu Nyata. Sesekali ia tertawa dan mengajak Bu Sheny untuk tos. Di sampingnya, ibunya duduk mendampingi Christo mengikuti rangkaian kegiatan di Minggu siang itu.

Sejak Oktober 2017, misa pukul 11.00 pada minggu ke-2 dan ke-4 di Gereja BMV Katedral Bogor memang didedikasikan sebagai misa inklusi. UBK dapat ikut misa bersama umat yang lain, dibantu dengan interpreter bahasa isyarat serta pendampingan dari para pembakti yang tergabung dalam Kumpulan Orang Mau Pelajari Ajaran Kristus (KOMPAK). Selain mendampingi UBK untuk mengikuti misa di gereja, para pembakti ini juga berperan sebagai katekis dalam bina iman UBK.
Turun dan Menyapa

Misa inklusi UBK hari Minggu itu dipimpin oleh RD. Jeremias Uskono. Dalam homilinya, Romo Jeremias menyampaikan ringkasan kabar baik Allah bagi dunia yang terdapat pada Injil Yoh. 3:16. Dengan anekdot dan selipan humor, Romo Jeremias menjelaskan bahwa Allah membuat segala sesuatunya baik, namun karena kesalahan dan dosa-dosa kita, kita pun jatuh ke dalam maut. Namun karena kasih karunia-Nya, Ia mendekatkan diri, memberi jaminan keselamatan dan hidup kekal bagi manusia melalui Kristus. Rahmat Allah inilah yang memampukan kita untuk melakukan segala pekerjaan, bukan semata-mata karena kekuatan atau usaha kita.
“Itulah mengapa dalam syahadat kita ucapkan ‘Aku Percaya’, bukannya ‘Aku ngerti’, atau bahkan ‘Aku dhong’. Semua pekerjaan baik harus kita awali dengan percaya. Walaupun jaminan keselamatan dari Allah ini luar biasa, namun kalau kita tidak percaya, maka kita hidup di bawah hukuman, di dalam keraguan,” ujarnya. Untuk percaya, kita harus mengenal dan mendekat pada-Nya. Oleh karena itu, Romo Jeremias mengajak seluruh umat untuk mendekatkan diri pada Allah dengan cara berdoa dan membaca renungan, lalu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik sesuai dengan hakikat penciptaan yang dikehendaki Allah bagi kita.

Setelah pembagian komuni, Romo Jeremias turun dari panti imam menuju ke area duduk para UBK di sisi kanan gereja. Dengan menggunakan bahasa isyarat, Romo Jeremias menyapa para UBK yang mayoritasnya tunarungu. Melihat sapaan dalam bahasa isyarat tersebut, para UBK pun menyambut dengan sukacita. Mereka membalas sapaan Romo Jeremias, juga dalam bahasa isyarat. Interaksi ‘tidak biasa’ tersebut mendapat sambutan dari umat lain yang bertepuk tangan meriah bagi mereka.
Seusai misa, para UBK diarahkan menuju SD Budi Mulia untuk menerima sakramen tobat. Didampingi oleh para pembakti KOMPAK dan beberapa anggota keluarga, para UBK mengikuti pengakuan dosa yang dilayani oleh Direktur Spiritual Seminari Menengah Stella Maris RP. Ignasius Wagut, OFM. Usai sesi pengakuan dosa, kegiatan dilanjutkan dengan ibadat Jalan Salib yang berlangsung dengan khusyuk. Para UBK tunarungu bergantian ‘membacakan’ renungan di tiap perhentian dengan menggunakan bahasa isyarat.
Mukjizat Berawal dari Percaya
Junita, ibu dari Christophorus, menilai bahwa kehadiran KOMPAK Keuskupan Bogor sangat baik dan bermanfaat bagi putranya. “Sebelumnya, Christo lebih sulit diajak ke gereja, ia selalu pakai headset-nya bahkan saat misa. Tapi sekarang, ia sudah mau lepas (headset), mendengarkan dan mengikuti misa dengan baik,” ujarnya. Ia menambahkan, sejak Christo ikut serta dalam pentas seni di Peringatan Hari Disabilitas Internasional (PHDI) pada Desember 2017 silam, kini Christo jadi lebih senang menyanyi dan berani tampil.

Rasa syukur atas eksistensi KOMPAK juga diungkapkan oleh Maria Goretti Rita Santi (Tata), salah satu pembakti KOMPAK sekaligus orangtua dari Richard, UBK tunagrahita. Umat paroki Keluarga Kudus Cibinong ini menceritakan pengalamannya saat hendak menyelenggarakan acara PHDI perdana di Keuskupan Bogor yang menjadi cikal bakal terbentuknya KOMPAK Keuskupan Bogor. “Kami (para pembakti KOMPAK) bukan perempuan-perempuan kaya. Awalnya kami bingung bagaimana caranya mengumpulkan dana dan peserta sebanyak yang ditargetkan dalam waktu singkat. Namun kami percaya saja, serahkan semua pada Tuhan dan berusaha mengumpulkan sedikit demi sedikit, sampai di hari H semuanya bisa terpenuhi,” kenangnya.
Bagi Tata, kepedulian Gereja terhadap UBK melalui pengadaan misa inklusi ini merupakan sebuah mukjizat yang amat ia syukuri. Sebelumnya, ia kerap mendapat reaksi kurang menyenangkan dari umat lain yang merasa terganggu dengan kehadiran anaknya yang tidak bisa duduk tenang saat misa. Sebagai orangtua tunggal dengan anak berkebutuhan khusus, awalnya sulit bagi Tata untuk menerima kenyataan hidupnya ini. Namun, perlahan-lahan ia menyadari bahwa Tuhan punya rencana indah atas semua peristiwa yang dihadapinya.
“Keselamatan yang dijanjikan Tuhan itu hak semua orang, termasuk mereka (UBK) ini. Kalau bisa memilih, kalau bisa memerintah Tuhan, ya tentu saya ingin anak saya seperti anak normal lainnya. Tapi kemudian saya sadar, justru dengan cara inilah Tuhan menyatakan kebesaran-Nya,” ujar Tata. Melalui perjumpaan dengan para pembakti KOMPAK, Tata semakin yakin dengan panggilannya untuk mewartakan keselamatan bagi para UBK.
“PR bagi kami sekarang adalah kaderisasi. Kami senang bahwa semakin hari semakin banyak pemerhati yang bergabung dengan kami, makin banyak yang peduli dengan keberadaan UBK dalam Gereja. Ke depannya, kami berharap bahwa para pemerhati ini juga bisa memulai komunitas serupa di paroki mereka masing-masing, sehingga makin banyak lagi UBK yang terlayani,” tutupnya. (Mentari/Komsos)