Serang – keuskupanbogor.org: Seperti pada tahun-tahun sebelumnya di Gereja Kristus Raja Serang, Perayaan Yesus Dipersembahkan di Kenisah kali ini juga dilakukan dengan perarakan lilin yang dibawa oleh anak-anak dari Aula Alexander menuju gereja. Perayaan ini dihelat pada 2 Februari 2019 pukul 17.30.
Menurut Pastor Paroki Kristus Raja Serang RD. Stefanus Maria Sumardiyo Adipranoto, sebenarnya upacara Yesus dipersembahkan di Bait Allah sudah dimulai sejak abad ke-5, namun dengan berjalannya waktu rupanya perayaan ini sempat tenggelam. Tradisi ini muncul kembali di abad ke-19, namun kemudian tenggelam dan muncul lagi di abad ke-21 ini.
Dalam Kitab Suci, bangsa Israel (Yahudi) percaya bahwa anak laki-laki yang pertama dalam satu keluarga adalah milik Tuhan, karena Tuhan telah melindungi mereka dari tulah kematian anak sulung (bdk. Kel. 11). Namun ketika bangsa Israel jatuh dalam dosa penyembahan anak lembu emas, keistimewaan anak sulung ini pun hilang. Karena kejatuhan tersebut, para orang tua bangsa Yahudi pun harus ‘menebus’ bayi mereka (dalam bahasa Ibrani: Pidyon Haben, yakni “menebus anak”) dengan mempersembahkan lima syikal perak (kurang lebih 50 gram perak). Mereka juga dapat mempersembahkan dua ekor burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati bagi yang tidak mampu. Burung-burung itulah yang dikurbankan di altar Tuhan.
Karena tradisi ini menjadi peristiwa penting dalam keluarga Yesus yang adalah bangsa Yahudi, Gereja Katolik pun menghidupkan kembali peristiwa ini. Melalui perayaan ini, Gereja ingin mendorong dan menggugah keluarga Katolik supaya mempersembahkan anak-anaknya untuk Tuhan. Dipersembahkan dalam konteks ini bukan berarti dikurbankan, melainkan diserahkan seutuhnya kepada tuntunan Tuhan.
Membimbing anak menjadi terang dunia
Perayaan Ekaristi dipersembahkan oleh Romo Sumardiyo sebagai selebran utama, serta RD. Bartholomeus Wahyu Kurniadi dan RD. Stefanus Edwin Ticoalu sebagai konselebran. Dalam homilinya, Romo Sumardiyo menegaskan bahwa perayaan Yesus dipersembahkan ke Kenisah ini mengingatkan kita bahwa kita harus menjadi cahaya bagi sekitar kita, seperti Yesus yang menjadi terang dunia. Hal ini berlaku juga bagi anak-anak. Prosesi perarakan lilin yang menyala merupakan simbol harapan agar anak-anak menjadi terang bagi teman-teman di sekolah atau tempat tinggal masing-masing. Makna terang itu adalah tindakan yang baik, perbuatan yang pantas, serta kebiasaan-kebiasaan yang terpuji.
Menurut Romo Mardi, ada tiga hal dari Bacaan Injil yang perlu kita renungkan. Pertama, ketaatan Yusuf dan Maria akan hukum Taurat. Sebagai umat beriman, sudah sepantasnya kita juga terus-menerus mempersembahkan seluruh hidup kita dan anak-anak kita kepada Allah. Kita memohon kepada Allah agar Allah senantiasa menguduskan, menyucikan, dan merahmati anak-anak kita hari demi hari. Ungkapan syukur kita hendaklah juga diwujudkan dalam tanda yang nyata.
Kedua, Yesus yang dipersembahkan di kenisah merupakan bentuk komunikasi Allah secara konkrit kepada manusia. Hal ini mengingatkan kita bahwa ketika kita berdoa atau mengikuti perayaan Ekaristi di gereja, Tuhan sungguh hadir di sana. Tuhan ingin mendengarkan doa permohonan dan ucapan syukur kita.
Ketiga, perayaan ini merupakan peristiwa simbolis. Bunda Maria yang membawa bayi Yesus sungguh sadar akan perannya sebagai ibu Tuhan. Bunda Maria menyadari bahwa Putranya akan membawa terang ilahi di tengah dunia. Sebagai anak-anak Allah, kita juga mendapatkan tugas yang sama, berkat rahmat pembaptisan dan sakramen Krisma.
Maka kepada orang tua, marilah kita bimbing agar anak-anak sungguh menjadi terang bagi anak lainnya. Sementara kita sebagai umat kristiani yang dewasa, hendaklah juga selalu menjadi terang di dunia ini melalui kata-kata dan perbuatan kita yang mencerminkan terang Allah sendiri.
“Banyak peran yang bisa kita jalankan untuk memberikan cahaya. Dengan memberikan petunjuk, arah, serta memperlancar pekerjaan yang sedang dilakukan saudara-saudari di sekitar kita, kita memancarkan terang itu” pesan Romo Sumardiyo. (Komsos Paroki Kristus Raja/ed. Mentari)