Oleh: RD. Yohanes Driyanto
Ada ujaran yang berbunyi, “Seandainya masa lalu itu suatu tempat, maka sekalipun sangat indah dan nyaman sebaiknya hanya sesekali dikunjungi dan jangan lagi ditinggali”. Masa lalu itu kenangan. Sudah tidak nyata. Sesekali boleh diingat dan diceritakan kembali, tetapi tidak seseorang pun boleh kembali dan tinggal menetap di sana. Sesekali bertandang ke sana hanya untuk mendapatkan kekuatannya bagi kehidupan yang sekarang.
Begitulah saya mendapat alasan untuk mengingat Sinode 2002 dan berupaya untuk menceriterakan beberapa hal yang mengesankan. Peristiwa mengesankan tidak berarti menyenangkan tetapi sekurang-kurangnya meninggalkan bekas. Bekas juga tidak selalu harus mendalam tetapi sekurang-kurangnya memiliki kekuatan, daya, atau pengaruh pada kehidupan, kekudusan, dan misi Gereja sekarang.
1. Tidak sekadar berjalan
Ibarat pertumbuhan atau perkembangan pribadi, ada tahap atau suatu titik seseorang pasti menyadari dirinya di tengah kehidupan umum secara sengaja atau tidak sengaja. Tidak akan ia membiarkan dirinya terus-menerus anonim atau sekedar hidup dan berkegiatan. Artinya, ia tidak akan membiarkan diri tidak tahu siapa dirinya dan harus berbuat apa. Ia tidak atau sekurang-kurangnya belum mempunyai cita-cita, tujuan, atau arah yang cukup jelas, relatif mantap, dan lumayan pasti. Pada saat itulah ia merasa harus mulai menegaskan identitas dan misi pribadinya.
Keadaan dan suasana seperti itulah yang dialami Gereja Sufragan Keuskupan Bogor waktu itu. Tentu saja saat itu Gereja sudah jelas hidup. Juga saat itu Gereja sudah tampak jelas terus berkegiatan. Tetapi saat itu Gereja menyadari bahwa hidup dan berkegiatan saja belum cukup. Gereja menghendaki untuk menegaskan visi dan misinya. Melalui sinode Gereja menegaskan diri yang dicita-citakan, the ideal self. Melalui sinode ditetapkan juga alasan keberadaanya, the reason of exsistence.
Sejak saat itu Gereja Keuskupan Sufragan Bogor hidup tetapi tidak sekadar hidup. Juga, Gereja berkegiatan tetapi tidak sekedar berkegiatan. Ada bentuknya yang jelas, arahnya yang tegas, serta maksud dan tujuannya yang pasti. Gereja Keuskupan Sufragan Bogor ingin tumbuh dan berkembang hingga semakin menjadi communio. Gereja Keuskupan Bogor ingin memperjuangkan terjadinya Kerajaan Allah di tempat ia berada.
Untuk mewujudkan visi dan misi itu ditetapkan juga dalam dan melalui Sinode itu suatu kebijakan. Ada 5 Kebijakan yang pengertiannya jelas, mantap, dan pasti sehingga dapat langsung dan dengan mudah dapat diwujudkan. Lima kebijakan itu adalah: pembaharuan key actors atau key workers, peninjauan kembali karya yang ada, pengenalan dan pemahaman adat kebudayaan setempat dan agama lain, penataan keorganisasian dan manajemen pastoral, serta penyiapan dan pemberdayaan sarana-prasarana pastoral.

2. Belajar kepada Gereja Awal
Sinode 2002 merupakan cara awal Gereja Keuskupan Sufragan Bogor belajar kepada Gereja Pertama (Kis 15). Saat itu Gereja mengalami permasalahan mengenai ajaran. Hal itu meliputi atau menyangkut ajaran iman, moral, dan sosial. Rumusan masalahnya adalah: Haruskah pengikut Kristus yang bukan Yahudi mengikuti adat-istiadat atau tradisi Yahudi? Satu masalahnya yang khusus adalah: Haruskah pengikut Kristus yang bukan Yahudi bersunat?
Untuk mengatasi masalah itu ditetapkanlah beberapa hal yang mesti segera dilakukan. Pertama, dipilih dari umat beberapa orang sebagai wakil. Kedua, bersama wakil-wakil umat itu Paulus dan Barnabas pergi ke Yerusalem. Ketiga, mereka diantar oleh umat sampai luar kota. Keempat, di Yerusalem mereka menemui penatua-penatua dan rasul-rasul. Keenam, mereka bersama-sama melakukan pertemuan.
Setelah bersama Umat Yerusalem, penatua-penatuanya, dan rasul-rasul lain menyambut kedatangan Paulus, Barnabas, dan wakil-wakil umat yang datang bersama mereka, Petrus tampak secara tidak langsung menegaskan diri sebagai pemimpin (primus inter pares = yang pertama dari yang sama). Mula-mula setiap orang dibiarkan untuk bebas berbicara mengungkapkan pengalaman hidup dan imannya. Mereka diberi kesempatan untuk bertukar-pikiran. Setelah waktu tertentu habis, Petrus memberikan kesaksiannya. Selanjutnya, Yakobus memberikan pendapatnya. Akhirnya, oleh pemimpin diambillah keputusan yang tegas dengan mengatakan, “Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami, supaya …. (Kis 15, 28).
Sebagai tindak lanjut dari sidang itu, ditetapkanlah Yudas dan Silas sebagai utusan yang harus menyampaikan keputusan kepada umat. Isi dari keputusan itu adalah: Salam, ketidakharusan bersunat (secara implisit), keharusan menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik, serta dari percabulan, dan akhirnya ucapan selamat dan penutup (Kis 15, 23-29).
Dari peristiwa itu Gereja Keuskupan mendapatkan contoh konkret bagaimana sinode dijalankan. Secara umum sinode dapat dipahami sebagai pertemuan pemimpin dan wakil-wakil umat untuk membahas permasalahan dan menemukan bentuk atau cara pengatasannya. Secara khusus dapat dengan mudah dipahami bahwa dalam sinode ditegaskan: (1) penetapan permasalahan, (2) suasana kegembiraan atau perayaan sinode, (3) siapa yang diundang ke sinode, (4) kebebasan peserta mengungkapkan pengalaman dan pengetahuan iman, (5) setelah mendengarkan semua keputusan diambil oleh pemimpin, (6) penetapan beberapa orang yang secara formal menyampaikan keputusan, dan akhirnya (7) sukacita umat beriman menerima hasil sidang.
3. Menegaskan prinsip
Hal lain yang sangat mengesan dan bagi saya perlu ditandaskan secara khusus adalah dua pokok penting berkenaan dengan keputusan. Para wakil umat berkesempatan untuk dengan bebas menyatakan pemikiran, pendapat, dan pengalamannya. Begitu juga para penatua atau pemimpin yang umumnya mempunyai keunggulan yang berupa pengetahuan, kedudukan, atau pelayanan tertentu. Masing-masing diberi kesempatan untuk menyatakan suaranya. Setelah semua itu terjadi (dengan cara semestinya semua telah didengarkan), keputusan akhir diambil atau ditetapkan oleh pemimpin yang berwenang.
Dua pokok penting yang saya maksudkan berkaitan dengan itu adalah sebagai berikut. Pertama, terhadap keputusan yang secara sahih diambil itu umat Allah tidak dituntut kesepakatan iman. Mengenai iman dan moral, tidak harus umat menyetujui atau menerima ajaran yang ditetapkan dan disampaikan oleh magisterium Gereja. Alasannya, iman adalah anugerah Tuhan. Tidak mungkin orang memaksa atau dipaksa untuk mengimani ajaran tertentu.
Kedua, terhadap keputusan itu umat Allah dituntut ketaatan religius dari budi dan kehendaknya. Terhadap iman dan moral yang ditetapkan dan disampaikan pemimpin legitim, hendaknya berdasarkan pertimbangan akal-budi dan didukung kehendaknya umat melakukan apa yang diperintahkan. Dua hal terakhir ini dirumuskan dengan jelas dalam Kan. 752 Kitab Hukum Kanonik 1983. Dengan prinsip itulah Gereja Katolik tetap terjaga keutuhan, kesatuan, dan tujuannya.

4. Upaya untuk semakin menjadi yang seharusnya (Gereja)
Berbicara mengenai Gereja tidak mungkin tidak berbicara mengenai proprietas-nya, yaitu: kehidupan, kekudusan, dan misinya. Kehidupan yang dimaksud adalah serangkaian kegiatan yang meliputi atau memuat hal-hal spiritual atau religius. Kegiatan itu merupakan ungkapan, wujud, atau bentuk pemahaman, perayaan, dan penghayatan iman. Orang tidak beriman umumnya hanya mengisi hidupnya dengan makan-minum, bekerja, beristirahat, dan berrekreasi. Orang beriman katolik akan menjelujuri kehidupannya dengan liturgi, perayaan sakramen, praktek kesalehan, perbuatan tobat, dan doa-doa lain.
Kekudusan menunjuk pada pengetahuan, pengalaman, dan keyakinan diri sebagai Gereja. Lebih tepatnya, perasaan gembira, bangga, dan syukur sebagai yang dipilih Tuhan (ekklesia) dan milik Allah (kyriake). Ibarat roti di tangan Yesus, umat mengerti, mengalami, dan meyakini bahwa dirinya diambil atau dipilih, diberkati, dipecah-pecahkan, dan akhirnya dibagikan kepada yang lain.
Yang dimaksud dengan misi adalah sesuatu yang dapat dan harus dilakukan. Karena umat Allah itu dinyatakan oleh Yesus sebagai garam, masing-masing harus mengasini. Umat harus membuat kehidupan menjadi enak dengan kesediaan diri untuk larut atau melebur. Karena juga dinyatakan sebagai terang, masing-masing harus menerangi. Umat harus membuat semuanya jelas, tegas, dan pasti sehingga kehidupan menjadi lebih nyaman, aman, tenang, tentram, dan damai.
Dalam dan melalui Sinode 2002 saat itu, kehidupan dipertegas, dimantapkan, dan digiatkan. Sungguh dibangun kemampuan kognitif, deliberatif, dan volitional serta disiapkan dan dicari saat atau peluang bagi kegiatan spiritual. Kekudusan semakin dijelaskan, dipahami, dihayati, dan diperjuangkan. Sungguh dipahami kenyataan bahwa kita memang oleh Tuhan dibuat berbeda dan dipersiapkan secara khusus demi kepentinganNya. Misi semakin disadari bukan sebagai pilihan tetapi keharusan untuk dilaksanakan. Benar-benar diupayakan adanya pembekalan dan pelengkapan diri berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap sehingga di mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun misi dilaksanakan.
Para pastor Keuskupan Bogor yang terlibat dalam Sinode 2002. (Foto: Istimewa) Perwakilan kaum religius dan awam turut berpartisipasi dalam Sinode. (Foto: Istimewa)
Perlu penegasan kembali
Sejak 2002 Gereja mulai berjalan bersama. Sekarang hampir menapak pada tahun yang ke-17. Lamanya waktu serta banyak dan besarnya tantangan membuat perjalanan melambat dan kurang fokus. Arah dan orientasi menjadi kabur dan bias. Sejumlah umat tertinggal. Ada yang lain terlalu cepat dan di depan. Ada pula sejumlah umat yang kembali lagi seperti semula, yaitu sekadar bergerak atau sekadar berjalan.
Keadaan itu menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengadakan sinode lagi. Saatnya untuk sejenak berhenti dari perjalanan. Saatnya untuk beristirahat. Saatnya untuk melakukan refleksi atas perjalanan yang telah dilalui. Saatnya membangun lagi persepsi bersama. Saatnya menyamakan langkah. Saatnya menyamakan tujuan. Saatnya menyatukan tujuan. Saatnya menyamakan langkah. Saat melakukan sinode. •
Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Majalah MEKAR Tahun XXXVI Edisi 01 dengan judul yang sama.