Rabu, 29 Januari 2020 Pekan Biasa III Bacaan I : 2Sam. 7: 4-17 Mazmur : Mzm. 89: 4-5. 27-28.29-30 Injil : Mrk. 4: 1-20
BEBERAPA waktu lalu ada sebuah cerita yang viral di internet, yakni cerita tentang seorang kakek yang memberikan arloji kepada cucunya. Si kakek tersebut berpesan bahwa arloji itu adalah barang tua dan antik, namun tidak semua orang memahaminya. Jika si anak membawanya kepada pemilik toko kelontongan, akan dihargai 5 dollar, tetapi jika arloji itu dibawa kepada pemilik toko barang antik akan dihargai 5.000 dollar.
Dalam Injil hari ini, Yesus memberi perumpamaan tentang penabur yang keluar untuk menabur benih. Tempat benih tertanam berbeda-beda, ada yang jatuh di pinggir jalan, ada yang jatuh di tanah berbatu-batu, ada yang jatuh di tengah semak duri, dan ada yang jatuh di tanah yang baik. Tempat benih tersebut memengaruhi pertumbuhan benih itu kelak. Alhasil, tidak semua benih dapat tumbuh subur dengan baik, ada yang belum sempat tumbuh sudah dimakan burung, ada yang baru tumbuh sudah mati, dan ada yang tumbuh subur sampai berbuah. Perumpamaan tersebut Yesus berikan untuk menggambarkan perbedaan kondisi orang-orang yang menerima sabda Tuhan. Ada yang memang dengan jelas menolak, ada yang setengah hati menerimanya, ada yang menerima, tetapi tidak melaksanakan, dan ada yang menerima dan melaksanakan secara sungguh-sungguh.
Suatu hal akan berharga atau bermakna tergantung di mana hal itu berada atau konteks apa yang ada di sekitarnya. Seperti kisah arloji tua yang dihargai sangat mahal di toko barang antik, Sabda Tuhan pun akan tumbuh subur di orang-orang yang menghargai dan mau melaksanakan sabda tersebut. Dalam perayaan Ekaristi, kita biasa mendengar aklamasi sesudah Injil yang berbunyi “Berbahagialah yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya” dan umat menjawab “Sabda-Mu adalah jalan, kebenaran, dan hidup kami”. Kalimat-kalimat tersebut bukanlah sekadar seruan dan tanggapan antara imam dan umat, melainkan ada sebuah respons positif dan niat yang konkret dari umat terhadap Sabda Tuhan dalam Injil. Respons positif tersebut adalah umat mau menerima sabda Tuhan secara tulus dan hati terbuka. Lalu, setelah itu ada niat yang muncul dari hati untuk mewujudnyatakan dan melakukan Sabda Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, yakni mengubah Sabda menjadi tindakan konkret di tengah-tengah masyarakat.
Sama seperti tanah yang baik tempat benih tumbuh subur dan berbuah, diri kita pun perlu dibentuk agar Sabda dapat tumbuh. Ingin diri kita menjadi tanah yang baik? Tanggapilah tiap Sabda yang kita renungkan dengan positif dan niat yang konkret. Dengan demikian, kita senantiasa mempersiapkan diri untuk menerima Tuhan dalam hati, lalu melaksanakan kebaikan kepada sesama. Tindakan konkret dapat berbentuk tingkah laku dan perkataan yang membangun dan menolong sesama atas dasar kasih, bukan sebaliknya. Semoga dengan segala usaha dan rahmat Tuhan, kita tidak menjadi tanah yang kering, bukan tanah yang berbatu-batu, dan bukan tanah yang ditumbuhi semak duri, melainkan tanah yang baik,
[Fr. Ignatius Bahtiar]