Mendengar atau Didengar?

Loading

Sabtu, 28 Maret 2020
Hari biasa pekan Prapaskah IV
Bacaan I : Yer 11: 18-20  
Bacaan Injil : Yoh 7 :40-53

MENDENGARKAN memang sulit, sebab manusia didominasi dengan keinginan berbicara. Manusia di zaman sekarang dikategorikan baik apabila dapat menjadi influencer yang berbicara kepada publik. Kadang seseorang terlalu terburu-buru untuk menyampaikan pendapat daripada mendengarkan pendapat. Saya jadi teringat tugas seorang konselor bahwa ia harus mendengarkan lebih banyak dari pada berbicara.

Pada kisah Injil Yohanes hari ini, kita melihat sosok Nikodemus yang berupaya membela Yesus, namun tidak berhasil karena orang-orang Farisi yang dengan keras menentangnya. Mari kita simak fenomena ini, Nikodemus adalah salah satu orang Farisi dan memiliki jabatan sebagai pemimpin agama orang Yahudi tetapi pendapatnya ditentang oleh kaumnya sendiri. Saudara-saudari perseteruan kadang datang bukan dari luar, tetapi orang-orang yang dekat dengan kita. Kasus seperti ini besar kemungkinan karena ada sifat keras kepala dan tidak mau mendengarkan.

Saudara-saudari yang terkasih dalam Yesus Kristus, setiap manusia mengupayakan dirinya mendengarkan firman Tuhan. Sebab sudah sejak awal dikatakan dalam kitab Matius, “siapa bertelinga, hendaknya mendengar! (Mat 11:15, Mark 7:16, Why 13:9) Tapi sejatinya perlu kita sadari mendengarkan belum cukup. Karena ada istilah ‘masuk kuping kiri keluar kuping kanan’. Maksudnya seseorang yang mendengarkan belum tentu menyimpannya dalam hati, terlebih lagi muncul niat untuk memahami. Ditelaah lebih dalam, faktor-faktor apa saja seseorang menganggap yang didengarkan tidak perlu dimasukkan dalam hati? saya merefleksikan, mungkin karena pembicara tidak memiliki kapabilitas atau tidak memiliki kharisma. Hal kedua mungkin juga orang-orang yang mendengarkan tidak memiliki trust kepada pembicara.

Saudara-saudari yang terkasih, membangun trust dan karunia kharisma bukan hal yang mudah. Untuk sampai ke sana, manusia akan selalu dihadapkan pada perjalanan spiritualitas, bukan memberontak atau melawan sifat-sifat keduniawian. Jalan satu-satunya adalah dengan berdamai. Kedamaian membawa manusia pada kerinduan terbesar, yaitu bertatap muka dengan Allah. Dalam istilah Jawa kita mengenal manunggaling kawula Gusti, sedangkan Latin yaitu visio beatifica. Kedalaman spiritualitas setiap manusia dapat diasah lewat keheningan, berkaca pada Yesus yang selalu menuju tempat yang sepi untuk berdoa dan mendengarkan Allah. (Mat 14:23, Mrk 11:25, Mrk 6:46, Luk 5:16)

Oleh karena itu, sejalan dengan ajakan masa Prapaskah yaitu meluangkan waktu untuk mendengarkan Tuhan. Menjadi hal yang baik apabila sebelum menutup hari, kita berdiam diri sejenak dan mendengarkan kebaikan-kebaikan yang Allah berikan kepada kita melalui puteranya Yesus Kristus. Lalu mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas segala yang dilimpahkan kepada kita. Tuhan memberkati.


[Frater Petrus Damianus Kuntoro]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Content is protected !!
Enable Notifications OK No thanks