Kok, Paus Fransiskus ke Irak!

logo visit to Iraq

Loading

Dua tahun lalu, tepatnya Maret 2019, Paus Fransiskus berkunjung ke Maroko. Paus diundang oleh Raja Mohammed VI. Saat itu, banyak orang merasa was-was dengan kunjungan Paus Fransiskus tersebut. Karena masalah keamanan. Perasaan yang sama juga menyelimuti kunjungan Paus Fransiskus ke Irak, pada 5-8 Maret. Bahkan agak menguatirkan karena kunjungan di tengah wabah Covid-19. Lantas, kok, Paus Fransiskus berani datang ke Irak? Sangat beresiko kan?

Namun, kunjungan ini dinilai sangat bersejarah. Bahkan menjadi impian beberapa Paus sebelumnya. Paus Yohanes Paulus II pernah berkeinginan untuk mengunjungi Irak pada 2000. Tetapi rencana tersebut dibatalkan karena aksi kekerasan di wilayah itu meningkat. Kemudian, Paus Benediktus XVI juga pernah diundang ke sana, tetapi tidak bisa pergi karena perang.

Seperti tidak putus harapan. Lalu, pada Juli 2019, Presiden Irak, Barham Salih, mengundang Paus Fransiskus untuk berkunjung ke Irak. Berharap kunjungan itu akan membantu negara itu pulih setelah pertikaian selama bertahun-tahun. Dan harapan itu terwujud dengan kunjungan Paus kali ini. Baru pertama kali pemimpin tertinggi gereja katolik berkunjung ke Irak. Harian The New York Times sampai menulis bahwa kunjungan Bapa Suci ini adalah kunjungan ke rahim atau tempat lahir peradaban.

Sebagai peziarah

Yah betul! Paus datang sebagai peziarah. Ia hendak berziarah ke salah satu tempat peradaban tertua di dunia. Ada sejarah Mesopotamia Kuno dan peradaban Sumeria yang terkenal dengan puisi epik Gilgames. Berisi tentang banjir besar dan bahtera Nabi Nuh sebagaimana dikisahkan dalam kitab agama Monoteistik. Juga ada kisah tentang kota Ur. Secara historis, kota ini dicatat sebagai tempat kelahiran Abraham. Bapak dari tiga agama, Yudaisme, Kristen dan Islam.

Dalam perziarahannya ini, ia membawa pesan utama yakni bangun solidaritas bersama antar umat beragama. Solidaritas dialog damai dan cinta. Ia berusaha agar kunjungannya ini dapat menjalin hubungan yang lebih baik dengan dunia Muslim.

Misi lain dalam perziarahan ini adalah mendukung komunitas Kristen Irak yang terkepung dan menyusut. Paus menyebut mereka sebagai gereja martir. Kepada gereja martir ini, Paus Fransiskus menitipkan benih damai dan cinta yang sama. Sekaligus memohon solidaritas umat lain untuk selalu menjaga perdamaian dan cinta antar mereka. Ia datang mengunjungi negara yang telah menjadi martir selama bertahun-tahun. Ia datang berziarah ke tanah yang penuh berlumuran darah dari orang tidak berdosa. Seperti dikutip dari harian NTY demikian:

“Saya datang sebagai peziarah, sebagai peziarah yang bertobat, untuk memohon pengampunan dan rekonsiliasi dari Tuhan setelah bertahun-tahun perang dan terorisme, untuk memohon dari Tuhan penghiburan hati dan penyembuhan luka.”

Bahkan Paus menegaskan bahwa Irak adalah tanah terberkati. Karena itu, setiap orang wajib menanamkan damai dan cinta itu. Harian yang sama melukiskan dengan menarik.

Tempat yang diberkati ini membawa kita kembali ke asal-usul kita. Sepertinya kita telah kembali ke rumah. Oleh karena itu, tanah diberkati itu tidak boleh dihujat dengan menebar kebencian kepada saudara dan saudari sendiri. Permusuhan, ekstremisme, dan kekerasan tidak lahir dari hati yang religius. Semua itu adalah pengkhianatan terhadap agama.

Tanah peradaban itu kini terluka dan porak poranda oleh kebencian. Kebencian yang ditebarkan oleh orang-orang yang fanatik brutal atas keyakinannya. Dan, Irak, tanah peradaban itu menjadi saksinya.

Bertemu saudara seiman

Salah satu momen yang disoroti dunia adalah kunjungan Paus Fransiskus ke rumah ulama Syiah Irak yang paling dihormati di Kota Najaf. Yakni, Ayatollah Ali al-Sistani. Seorang ulama saleh, karismatis dan sederhana. Saat ini, ia berusia 90 tahun dan merupakan motor penggerak Syiah di dunia. Paus Fransiskus sengaja datang ke kota ini dari Baghdad.

Dikutip dari www.cnn.com, sosok sederhana ini menyambut Paus Fransiskus di rumahnya sendiri. Tanpa jarak, tanpa protokoler ketat, layaknya kunjungan pemimpin Negara dan pemimpin tertinggi. Keduanya duduk berhadapan di sebuah kursi kayu sederhana. Sebuah pemandangan yang tidak biasa apalagi melihat status kedua tokoh ini. Betul-betul pertemuan yang sangat sahaja dan bersejarah.

Cerita kesederhanaan Ayatollah Ali al-Sistani ini bukan sebuah gimik. Sebelum tiba di rumah tersebut, Paus harus menyusuri gang sempit. Di mulut gang itu, ada sebuah spanduk penyambutan. Dengan tulisan sebuah kalimat doa, harapan sekaligus penegasan pertemuan itu. Begitu menyentuh. “Kita ini bersaudara, kalau bukan saudara seiman adalah saudara sesama manusia.” Di sana sini, jaringan listrik darurat menjuntai dari rumah ke rumah. Beberapa rumah juga masih ditutup dengan jeruji besi yang telah bengkok. Rumah itu juga tidak banyak asesoris yang terpajang di dinding. Tidak ada gambar atau apapun. Betul-betul polos. Di lokasi itulah Ayatollah tinggal. Pada sebuah rumah sederhana yang disewanya sendiri seharga 200 ribu rupiah setiap bulan.

Sebelum bertolak ke Irak, pemandangan yang sama berlangsung di Italia. Momen unik dan bernilai kesederhanaan Paus Fransiskus direkam oleh salah satu televisi Italia. Paus Fransiskus membawa sendiri tasnya menaiki tangga pesawat. Di pintu pesawat pun, masih terlihat, Paus menenteng tasnya sebelum diambil oleh salah satu petugas keamanan.

Paus Fransiskus memang seorang Jesuit sejati. Namun, spirit kesederhanaan ini begitu melekat dengan dirinya. Paus yang menghidupi semangat kesederhanaan dalam dirinya. Ia juga dikenal sebagai sosok yang jauh dari kemewahan. Dekat dengan orang-orang sederhana, tersisih dan tertindas.

Hal yang sama diakui oleh pemimpin Syiah Irak sekaligus sekretaris jenderal Institut Al-Khoei Sayyed Jawad Mohammed Taqi Al-Khoei. Ia mengatakan bahwa pertemuan Ayatollah Sistani dan Paus Fransiskus adalah pertemuan dua nilai hidup yang sama. Yaitu kesalehan dan kerendahan hati yang dihayati dan diperjuangkan oleh dua sosok itu. Nilai yang sama juga diperjuangkan oleh semua manusia, bukan hanya Katolik dan Syiah. Sekaligus menandai momen penting dalam sejarah agama moderen terkait pentingnya memperdalam dialog antaragama. Dan itu, menurutnya, terjadi pada Ayatollah dan Paus Fransiskus. Seperti diwartakan oleh www.aljazeera.com.

Mengobati cinta yang disakiti

Ada pemandangan menarik lain dari kunjungan Paus Fransiskus ke Irak. Teristimewa saat ia mengunjungi kota Mosul pada Minggu (07/3). Sebuah kota tua yang terletak di tepi barat Sungai Tigris. Berada persis di seberang situs sejarah Kota Niniwe kuno peninggalan bangsa Asiria. Dan menurut para arkeolog, makam Nabi Yunus juga ada di kota ini.

Dan uniknya, kota ini dihuni oleh mayoritas muslim bermahzab Syiah dan juga dihuni warga Kristen Timur (Ortodhoks). Bahkan kota ini digelar sebagai jantung Kristen di Irak. Juga menjadi rumah bagi komunitas Yahudi. Namun, wajah derita kota ini seperti enggan berlalu. Perang Irak-Iran pada 1980-an membuat kota ini hancur berantakan. Terakhir, kota ini juga dihancurkan oleh ISIS saat mereka menguasainya.

Paus Fransiskus mengunjungi kota ini di hari ketiga keberadaannya di Irak. Kunjungan Paus yang sangat emosional. Sebuah foto yang dipublis oleh Andrew Medichini/Associated Press memperlihatkan sebuah pemandangan yang kontras. Paus muncul di karpet merah cemerlang dengan latar belakang puing-puing dan reruntuhan. Sebuah situasi yang tidak lazim. Bahkan terkesan “mengejek” sebuah kunjungan kehormatan.

Tapi, itu fakta! Bapa Suci Fransiskus berada di sana. Ada pesan kuat yang disampaikannya. Memperlihatkan risiko mengerikan yang ditanggung dari fanatisme agama. Sekaligus menunjukkan bagaimana, di tempat yang porak-poranda itu, harga yang harus dibayar adalah darah. Cinta yang dikhianati oleh nafsu. Dan, akibatnya ditanggung oleh warga Mosul dan Irak secara keseluruhan.

Betapa kejamnya negara ini, tempat lahir peradaban, harus dilanda pukulan yang begitu biadab, dengan tempat-tempat ibadah kuno dihancurkan. Dan dengan kejam dimusnahkan oleh terorisme, dan memaksa ribuan orang mengungsi atau dibunuh.”

Bagi umat Kristiani di Mosul, kedatangan Paus mengobati cinta mereka akan iman. Iman yang sudah lama disakiti oleh berbagai bentuk permusuhan, ekstremisme, dan kekerasan.

——————-

Ditulis oleh: Tarsisius Gantura
(Umat Paroki St. Faustina, Bojong Gede dan jurnalis majalah anak Cahaya Inspirasi Anak (CIA), Jakarta.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Content is protected !!
Enable Notifications OK No thanks