“Untuk Sebuah Gereja Sinodal: Communio (Persekutuan), Partisipasi, dan Misi”
Sinodalitas Gereja nampaknya menjadi gagasan dasar atau fundamental dari Bapa Suci Paus Fransiskus dalam pembaharuan Gereja secara berkesinambungan melalui suatu pertobatan pastoral dan misionaria. Sejak awal penggembalaannya, dinamika ini – yakni “berjalan bersama” (arti dari kata “sinode”) dari para gembala dan umat Allah – menjadi kunci bagi Bapa Paus untuk membuka kekayaan Gereja sekaligus pembaharuan dalam Gereja. “Berjalan bersama” merupakan warisan yang sangat berharga dari Gereja Perdana, yang bahkan menjadi hakekat dari Gereja sendiri, menjadi cara Gereja untuk ada dan hidup (modus vivendi) serta cara Gereja berkarya (modus operandi) dalam mewujudkan misi keselamatan Allah.
Di sisi lain dalam sejarah Gereja kita melihat bahwa, kolegialitas para uskup bersama Paus oleh Paulus VI ditandai dengan dibentuknya mekanisme Sinode Para Uskup. Langkah yang merupakan buah dari Konsili Vatikan II, sejak ditetapkan oleh Paulus VI dalam Motu Proprio Apostolica Sollicitudo (15 September 1965) itu telah berbuah nyata dalam mewujudkan upaya sinodalitas dalam Gereja. Dengan semangat Gereja yang “berjalan bersama” itu, Paus Fransiskus dalam Konstitusi Apostoliknya, Communio Episcopalis (15 September 2018) menuliskan bahwa, setelah lebih dari 50 tahun berjalannya wadah Sinode Para Uskup perlu semakin diarahkan agar wadah tersebut tidak lebih sibuk untuk mempertahankan atau menjamin dirinya sendiri sebagai Gereja, namun mengarahkan diri pada tugas perutusan dasar Gereja untuk mewartakan Injil. Oleh karena itu Gereja, lewat Sinode Para Uskup, perlu lebih memusatkan diri pada identitas serta perutusan tersebut, yakni aspek misioner Gereja.
Sinode Para Uskup, bagi Bapa Paus Fransiskus, terutama merupakan langkah mendengarkan, mendengarkan umat Allah untuk secara bersama mendengarkan terang bimbingan Roh Kudus. Oleh karena itu aspek konsultatif merupakan sesuatu yang mendasar, mengenali rasa iman yang sedang hidup. Di sini penting proses penegasan rohani, agar bisa membedakan dengan sekedar pengungkapan pendapat yang masuk akal belaka, sebab kesepakatan Gereja tidak didasarkan pada pemungutan suara belaka, namun bagaimana keterbukaan akan Roh Kudus. Selain itu hasil Sinode baginya bukan hanya titik akhir, hasil keputusan, namun pula titik berangkat bagi pewujudnyataannya, terlebih di konteks Gereja setempat.
Oleh karena itu Gereja sinodal adalah Gereja yang hendak mendengarkan suara semua kawasan, terlebih kawasan yang selama ini jarang didengar dan diperhatikan. Tidak mengherankanlah kalau tema yang diusung adalah soal persekutuan umat beriman (communio), keterlibatan semua (partisipasi) dan perutusan (misi). Fransiskus ingin mengarahkan Gereja berfokus pada tugas perutusan utamanya, pewartaan Injil, itulah Gereja yang misioner. Ciri yang menyertai dalam menjalankan tugas perutusan tersebut adalah kemurahan hati. Gereja yang menyatakan dan menunjukkan belas-kasihan, itulah yang diharapkan. Karena ini adalah perjalanan hidup Gereja maka ruang keterlibatan yang semakin meluas diperlukan. Mempertimbangkan kepentingan itu, maka diputuskan proses Sinode Para Uskup diperluas (dengan dimulai dari Gereja lokal, yakni paroki dan keuskupan untuk melibatkan seluruh umat dari yang “paling bawah”) dan diperpanjang (yang biasanya hanya dalam kegiatan pertemuan beberapa hari oleh Para Uskup menjadi selama tiga tahun), agar proses mendengarkan dan langkah diskresi dapat semakin terjalin.
Tentu proses ini tidak mengingkari ciri pelayanan hierarkis, apalagi pelayanan petrinal, kuasa mengajar Paus, di dalam tubuh Gereja, malahan memperkokoh dan memperluas jangkauan dan cakupan pelayanan tersebut. Paus Fransiskus menegaskan bahwa Paus tidak di atas Gereja, melainkan ada di dalam Gereja, sebagai salah satu umat beriman yang dibaptis dan menjadi bagian dalam kolegialitas para uskup, selain memang merupakan pengganti Rasul Petrus. Hal ini merupakan kenyataan Gereja yang berjalan bersama, umat Allah yang berziarah dalam tapak jalan perutusan Kristus, sebab berkat Sakramen Baptis (dan Sakramen Penguatan), setiap orang mempunyai “kualitas” Yesus Kristus sendiri sebagai imam, nabi, dan raja. Setiap pribadi menjadi “subyek” yang penting untuk saling mendengarkan, saling mendukung, dan saling membantu dalam “berjalan bersama” demi terwujudkan misi injili Gereja sendiri.
Dengan keyakinan dan gagasan itu, Bapa Paus Fransiskus mengajak kita, sebagai Gereja Keuskupan, turut menghidupi semangat “berjalan bersama” tersebut. Yaitu untuk bersama-sama melihat kembali perjalanan kita sebagai “komunitas”, melakukan diskresi bersama-sama untuk mendengarkan Roh Kudus dalam terang Sabda Allah, dan “memimpikan” bersama Gereja yang sinodal di masa depan serta “berjalan bersama” (ambil bagian) dalam mewujudkan misi injili Gereja dalam konteks Keuskupan kita. Bersama dengan Gereja Keuskupan-Keuskupan seluruh dunia, kita akan mengawali perjalanan Sinode (berjalan bersama) ini dalam Perayaan Ekaristi pada tanggal 17 Oktober 2021. Dengan kelonggaran hati kita, seraya memohon selalu terang Roh Kudus, semoga kita dapat ambil bagian dalam membangun “communio” Gereja yang semakin dinamis demi terwujudnya misi keselamatan Allah bagi dunia kita, bagi masyarakat kita, yang secara konkret menjadi konteks hidup kita sehari-hari di Keuskupan Bogor ini.
Tuhan memberkati kita.
RD. Yohanes Suparta (Vikaris Jendral Keuskupan Sufragan Bogor)
Hai kawan, jangan ragu jangan takut!. Maju dan melangkah pasti, kita jalan bersama…. bersama Kristus Sang Sahabat.