KEUSKUPANBOGOR.ORG- Para Clerus dan Lembaga Hidup Bakti yang berada di wilayah Dekanat Barat Keuskupan Bogor yaitu dari Paroki Santa Maria Tak Bernoda-Rangkasbitung, Paroki Kristus Raja-Serang, Paroki Santo Mikael-Cilegon, Komunitas FMM Biara Beatae Adolphin-Serang dan Komunitas SFS-Rangkasbitung pada hari Selasa, 29 Maret 2022 menjadi peserta dalam kegiatan Rekoleksi Sinode Para Uskup yang dilaksanakan di Biara Beatae Adolphin-Serang.
Sejumlah 19 orang peserta hadir dalam Rekoleksi Sinode yang bertema “Transformasi Pelayanan Gereja” ini, kegiatan diawali dengan registrasi kemudian sambutan-sambutan.

Dalam sambutannya, RD Andreas Bramantyo selaku Pastor Dekan Dekanat Barat mengharapkan semoga apa yang menjadi capaian dapat terwujud dalam rekoleksi Sinode pada hari ini.
Mgr Paskalis Bruno Syukur selaku Uskup Keuskupan Bogor yang turut hadir dalam kegiatan memberikan sambutannya. Ia mengatakan bahwa Sinode yang diminta Bapa Paus yang dilakukan di tingkat keuskupan, ditanggapi Keuskupan Bogor dengan melaksanakan rekoleksi agar Roh Kudus senantiasa menyertai perjalanan Sinode ini.
“Yang diutamakan dalam Sinode bukanlah diskusi ilmiah tetapi lebih ke mendengarkan Roh Kudus yang berkarya dalam diri kita. Bisikan Roh Kudus untuk mengembangkan Gereja atau dengan kata lain menghadirkan Kerajaan Allah di bumi ini agar Gereja tetap relevan dan faktual. Itulah sebabnya kita mengadakan rekoleksi ini,”

Lebih lanjut, Mgr Paskalis mengatakan bahwa Sinode tidak hanya diadakan untuk umat tetapi untuk Clerus dan Lembaga Hidup Bhakti yang merupakan bagian penting dalam Gereja. Mgr Paskalis berharap setelah mendengar bisikan Roh Tuhan dapat membuat Gereja semakin berkembang. Langkah ini menjadi dasar dalam perjalanan bersama. Banyak yang perlu diperbaiki dan diteguhkan maka dapat dibagikan dalam rekoleksi ini agar sungguh-sungguh menghayati peran dalam panggilan yang diterima. Sehingga dalam proses berjalan bersama dapat dilakukan secara bersukacita.

Usai sambutan-sambutan, kegiatan dilanjutkan dengan Ibadat Pembuka yang dipimpin oleh RD Aloysius Tri Harjono.
Memberi Ruang Untuk Roh Kudus
Dalam sesi pengantar yang dibawakan oleh RD Lukas Wiganggo disampaikan mengenai arahan proses rekoleksi agar para peserta yang terdiri dari Clerus dan Lembaga Hidup Bakti mengetahui alur selama rekoleksi dan menjelaskan bahwa rekoleksi dimaksudkan untuk menghidupkan semangat “Jalan Bersama” yaitu menyegarkan iman dan untuk menguatkan semangat sebagai “teman seperjalanan” bagi umat lain. Rekoleksi sinode ini mengingatkan bahwa karya penyelamatan Tuhan bekerja dalam himpunan keluarga umat Allah-bukan orang per orang.
Selain itu, rekoleksi juga menjadi jalan dalam membuka diri terhadap Roh Kudus dan merupakan tujuan re koleksi diadakan. Rekoleksi menjadi saat untuk membiarkan diri untuk dibimbing dan mendengar Roh Kudus, melepaskan dominasi otak/pikiran, memberi ruang lebih pada suara hati.
Hal lain yang disampaikan adalah bahwa dengan mengambil peran dalam upaya pengembangan Gereja Katolik juga menjadi tujuan rekoleksi yang dimaksudkan untuk memberi ruang pada setiap orang untuk berpartisipasi. Yaitu terlibat, menemukan, dan menyampaikan hal baik demi perkembangan Gereja baik di tingkat keuskupan maupun universal.

Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa perlu mengambil peran dalam upaya pengembangan Gereja Katolik adalah juga bagian dari tujuan rekoleksi ini yang dimaksudkan untuk memberi ruang pada setiap orang untuk berpartisipasi. Yaitu terlibat, menemukan, dan menyampaikan hal baik demi perkembangan Gereja baik di tingkat keuskupan maupun universal.
Rekoleksi pada hari ini memberikan ruang bagi setiap orang untuk menyampaikan hal baik. Diharapkan dengan mengikuti rekoleksi, para Clerus dan Hidup Bakti dapat mewujudkan keteladanan hidup pastoral. Serta, rekoleksi ini merupakan upaya untuk menyegarkan kembali hidup panggilan yang disertai dengan aksi nyata yaitu pembaruan hidup.
Peserta diharapkan mengikuti proses rekoleksi dengan jujur dan apa adanya, menumbuhkan sikap rendah hati, dan kebaruan dan keterbukaan hati serta membuka diri untuk mendengarkan. Peserta juga diingatkan untuk tidak berprasangka terhadap lain dan tidak terbuai dengan perasaan sudah cukup dan sudah bisa.
Realita Pada Saat Ini
Dalam sesi Narasi Refleksi yang dibawakan oleh RD Marselinus Wisnu Wardhana, peserta diajak untuk menyadari dalam masa ini di diri pekerja pelayanan, termasuk para religius, memberi perhatian yang berlebihan terhadap kebebasan dan keinginan menyenangkan diri, yang membuat kita melihat pelayanan sebagai tambahan belaka, seolah-olah bukan sebagai bagian dari identitas. Akibatnya walaupun berdoa, masih saja memiliki individualisme yang tinggi, krisis identitas, dan semangat melayani yang redup. Kita lebih mudah pesimis, bersungut-sungut dan kecewa.

Tantangan para pelaku pelayanan lainnya adalah “keduniawian spiritual” yang bersembunyi di balik kesalehan dan bahkan kasih kepada Gereja, yakni mencari bukan kemuliaan Allah tetapi kemuliaan manusiawi dan kesejahteraan pribadi. Kita terjebak pada kecenderungan menganggap diri sendiri penting dan baik, sehingga bukannya melakukan penginjilan, tetapi kita justru dengan mudah menganalisis dan mengklasifikasi orang lain berdasarkan prasangka buruk kita. Bukannya membuka pintu kepada rahmat tetapi justru menghabiskan energi untuk mengawasi dan menghakimi orang lain. Kita, dan pada akhirnya gereja sebagai lembaga, sibuk dengan mengatur hal-hal di dalam ruangan rumah kita sendiri, sibuk dengan interior di dalam rumah dan mulai tumpul dengan tugas misioner yang berorientasi ke luar.
Gereja sebagai lembaga perlahan menjauh dari akarnya, yaitu umatnya sendiri. Gereja tidak tumbuh menjadi gereja yang “dekat”, tetapi menjadi gereja yang “berjarak” dengan orang-orang yang dilayaninya. Para aktivis pelayanan lebih terlihat seperti sekelompok elit orang yang sibuk memikirkan dirinya sendiri atas nama pelayanan.
Pertobatan Terus Menerus
Masih dalam narasi refleksi, dikatakan bahwa Paus memimpikan agar Gereja Katolik dapat mengubah setiap kebiasaan, gaya hidup, pengaturan waktu, bahasa, dan struktur atau susunan gerejawi menjadi kanal yang memadai untuk penginjilan di dunia masa kini. Gereja harus lebih takut menjadi Gereja yang tertutup dalam struktur yang mapan dan merasa aman karena seolah-olah hidup dalam kebiasaan yang membuat kita merasa selamat, sementara di luar pintu kita ada orang-orang kelaparan dan Yesus tanpa henti berkata, “Beri mereka sesuatu untuk dimakan”.
Gereja harus menjadi Gereja yang ke luar yaitu komunitas murid yang misioner, Gereja yang mengambil inisiatif, melibatkan diri, mendampingi, dan menghasilkan buah.
Tentang “mengambil inisiatif”, Tuhan memberi contoh dengan lebih dulu mencintai tanpa gentar mengambil langkah pertama, bergerak menemui, mencari yang jauh, mendatangi orang di jalan dan mengundang yang terkucilkan.
Tentang “melibatkan diri”, seperti Yesus membasuh kaki para murid. Komunitas penginjil melalui karya sehari-hari melibatkan diri dalam kehidupan orang lain, mendekatkan yang berjarak, dan merendahkan diri.
Tentang “mendampingi”, seperti Yesus yang menyertai manusia di setiap langkah atau prosesnya,yang mungkin keras dan panjang, kesabaran yang tidak lagi memperhitungkan batas.
Untuk semua itu, kita memerlukan pertobatan yang terus menerus dan upaya bersama untuk membuat perubahan atau transformasi. Bukan kebetulan bahwa gereja duniawi disebut oleh tradisi sebagai gereja peziarah, yaitu gereja dalam perjalanan, kita masih di pengasingan jauh dari Tuhan (2 Kor 5:6), seperti yang diingatkan oleh Konsili Vatikan II (Lumen Gentium, 48). Orang Katolik harus pertama-tama pergi mencari Tuhan agar kemudian mengalami pertobatan sebagai bekal utama karya perutusannya.
Paus Fransiskus membuat seruan yang kuat untuk pertobatan seluruh Gereja. Pertobatan sebagai syarat untuk pewartaan Injil. Hilangnya otoritas dan sentralitas kekatolikan di dunia kontemporer bukanlah kekalahan, tetapi kesempatan untuk kembali ke Injil.
Gereja Ada Karena Diutus
Dalam sesi narasi refleksi ini dituturkan bahwa Paus Fransiskus menegaskan secara jelas bahwa identitas dan ciri dasar Gereja adalah misioner. Gereja ada karena diutus. Gereja harus berani untuk keluar, tidak tinggal diam dan tenggelam di dalam, atau berpusat pada diri sendiri. Lebih baik melihat Gereja yang kotor, memar, dan lelah karena keluar, berada di jalanan dunia, daripada sakit dan lesu karena diam di dalam, tidak beranjak dari tempat nyamannya. Gereja harus berani mentransformasi diri dalam hal nilai hidup dan pelayanan-pelayanan dengan terang nasihat Injil.
Orang Katolik adalah orang yang pertama-tama menemukan sukacita Injil, mengalaminya secara batiniah, dan membaca kembali kehidupannya sendiri dalam terang Sabda dan wajah Kristus. Kemudian, dia keluar dari dirinya sendiri, menuju orang lain: “Sukacita Injil yang memenuhi kehidupan komunitas para murid adalah sukacita perutusan” (EG 21).

Setelah sesi narasi refleksi, peserta diajak untuk melakukan renungan secara pribadi dan bergabung dengan kelompok yang sudah terbagi menjadi 4 kelompok untuk melakukan sharing berkelompok.
Roh Kudus Memiliki Peran Besar
Usai sharing, RD Yohanes Suparta memberikan peneguhan dan penguatan bagi para peserta yang hadir. Dalam sesi ini, Romo Parto mengatakan bahwa dari pengalaman sharing yang dilakukan, dapat dikatakan bahwa semua orang berbeda baik dari karunia, pengalaman, pemikiran dan lain sebagainya. Semua orang tidak dituntut menjadi sama. Setiap orang pasti diberkati, apalagi secara khusus diberikan rahmat panggilan khusus.
Namun, setiap orang disatukan dalam rahmat panggilan yang sama sebagai klerus dan hidup bakti. Setiap orang diperlengkapi dan dilayakan untuk dapat mengambil bagian dalam karya pastoral. Oleh karena itu, menurut Romo Parto, setiap klerus dan hidup bakti hendaknya mensyukuri setiap karunia yang dimiliki seraya terus berusaha mempersembahkan yang terbaik bagi keluarga Tuhan.
Lebih lanjut, Vikaris Jenderal Keuskupan Bogor tersebut menegaskan bahwa melalui kesediaan hadir untuk menjumpai sesama menjadi sarana yang kuat untuk menjumpai Tuhan. Perjumpaan dan kehadiran yang perlu diwujudkan bukan untuk memenuhi kebutuhan sosiologis semata, tetapi sebagai sebuah sarana perjumpaan, kesediaan untuk berjumpa dan berjalan bersama.
Roh Kudus memiliki peran besar. Apabila tidak mendengarkan Roh Kudus, maka sama saja mengingkari kehadiran Tuhan. Melibatkan Roh Kudus adalah hakikat Gereja, karena Roh Kudus akan menumbuhkan kebaikan, kebenaran dan ketulusan. Roh Kudus memiliki daya ubah yang sangat kuat, yang tentunya akan membawa kepada transformasi pastoral. Maka mendengarkan Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang perlu dilakukan.
Rahmat Panggilan memberikan sebuah konsekuensi untuk tidak tinggal diam dan harus ambil bagian dalam karya pelayanan melalui peran nyata yang diwujudkan karena ini adalah rasa syukur atas rahmat tahbisan yang telah diterima. Perlu menyadari peran sentral ini agar tidak tinggal diam dan berperan nyata dalam keteladanan pastoral.
“Tugas kita sebagai kaum Klerus dan Hidup bakti adalah mewujudkan Gereja yang dekat dan terbuka. Kita memiliki peran yang sentral, selalu ada cara untuk mewujudkan transformasi pastoral. Kita perlu terus berjuang setia dalam karya-karya baik yang bisa kita lakukan oleh karena kesetiaan pada setiap karya yang baik, itu artinya juga kesetiaan kepada Tuhan sendiri, Sang Sumber Kebaikan. Terwujudnya Gereja yang berjalan bersama memerlukan kita yang untuk siap diubah oleh Roh Kudus,” Pungkasnya.
Membuka Diri Terhadap Bimbingan Roh Kudus
Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Mgr Paskalis Bruno Syukur, didampingi RD Yohanes Suparta dan RD Andreas Bramantyo.
Dalam homili yang disampaikan oleh RD Andreas Bramantyo, Ia mengajak para kaum Klerikus dan Lembaga Hidup Bhakti untuk mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Jika direnungkan, dalam komunitas perlu menjadi seperti air yang menyegarkan dan memberi semangat dalam karya pelayanan.

“Kita dipanggil untuk mengingat peranan kita di Keuskupan Bogor untuk mewujudkan Gereja yang dekat dan terbuka, dan sebagai orang-orang yang mau membuka diri terhadap bimbingan Roh Kudus. Mari kita berjalan bersama dalam kesatuan Gereja Keuskupan Bogor, khususnya di Dekanat Barat seraya menyerahkan diri kepada Roh Kudus untuk menjalankan karya pelayanan kita,” Ujar Pastor Paroki Santa Maria Tak Bernoda-Rangkasbitung tersebut.
Komisi Komsos Keuskupan Bogor