Senin, 24 Oktober 2022
Pekan Biasa XXX (H)
Bacaan I: Ef.4: 32-5:8
Mazmur: 1:1.2.3.4.6
Bacaan Injil: Luk. 13:10-17
Bacaan-bacaan hari ini, mengilustrasikan tentang peristiwa Yesus menyembuhkan seorang perempuan. Perempuan itu digambarkan penginjil Lukas bahwa ia telah dirasuki roh selama delapan belas tahun sehingga ia sakit sampai bungkuk punggungnya dan tidak dapat berdiri dengan tegak lagi. Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya; “Hai ibu, penyakitmu telah sembuh” (lih. Luk. 13:11-12). Namun apa yang dilakukan Yesus kemudian membuat kepala rumah ibadat gusar. Sebab Yesus menyembuhkan perempuan itu pada hari Sabat. Menurut hukum Taurat, orang dilarang keras melakukan kegiatan apapun pada hari Sabat, termasuk menyembuhkan orang. Karena Sabat adalah hari Tuhan.
Gambaran praktik keagamaan di atas menunjukkan bahwa seolah-olah aturan harus didahulukan daripada tindakan kasih. Aturan (hukum) memang penting, namun bukan segalanya. Jika ditarik ke dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita akan menemukan fenomena aktual praktik keagamaan yang seringkali terjadi, dengan mengatasnamakan agama. Mereka lebih mengutamakan hukum daripada berbuat kebaikan terhadap sesama. Misalnya, mengucapkan selamat hari raya kepada pemeluk agama lain. Hal ini kadang menimbulkan perdebatan yang tak ada habisnya. Bahkan orang yang mengucapkan selamat hari raya diberi label kafir. Praktik keagamaan demikian, yang dikecam oleh Yesus sebagai orang-orang munafik.
Kecaman Yesus terhadap orang-orang munafik yang mementingkan hukum daripada tindakan kasih, mau menyadarkan kita bahwa hukum keagamaan itu memang penting tapi aturan mestinya membawa setiap pemeluk agama (yang mengaku beriman) untuk sampai pada tindakan yang nyata, yakni tindakan kasih. Dalam konteks kita sebagai orang Katolik (Kristiani), kecaman Yesus menjadi peringatan keras bagi kita bahwa hukum harus ditempatkan sebagai sarana menuju tindakan kasih. Dengan melakukan tindakan kasih kepada sesama, maka serentak kita menghadirkan Allah secara nyata dalam kehidupan kita sekaligus kepada orang lain. Inilah yang menunjukkan secara konkret iman kita yang sesungguhnya, terutama kita yang percaya dan beriman kepada Yesus.
Gambaran orang beriman secara mendalam (deep faith) adalah orang yang hidup dalam kasih (lih. Ef.5:2). Buah dari hidup di dalam kasih adalah mengasihi sesama tanpa batas. Ketika mengasihi sesama tanpa batas, maka itu berarti kita hidup di dalam kasih Allah. Hidup dalam kasih Allah berarti hidup di dalam Allah. Sebab Allah adalah kasih, dan kasih itu adalah Allah itu sendiri (lih. 1Yoh.4:7,8).
Hidup dalam kasih Allah akan sangat menyenangkan. Sebab pengalaman mengalami kasih Allah akan mengubah seluruh hidup kita, baik cara berpikir, cara bertindak dan bertutur kata. Misalnya, dari cara berpikir, pengalaman mengalami kasih Allah akan mengubah paradigma kita terhadap praktik hukum (aturan) keagamaan kita. Aturan keagamaan dibuat bukan untuk menindas dan menghakimi sesama, tetapi mestinya hukum dipandang sebagai sarana bagi kita untuk menuju tujuan yang hendak dicapai, yaitu Allah. Kerangka berpikir ini terjadi jika kita mempunyai relasi yang intim dengan Allah. Artinya bahwa pertama-tama kita harus mempunyai pengalaman mengalami kasih Allah itu.
Pengalaman mengalami kasih Allah dapat mengarahkan kita untuk menempatkan hukum keagamaan kita sebagai sarana. Gerakan kasih Allah ini kemudian membimbing kita untuk melihat sisi nilai-nilai kemanusiaan di balik praktik hukum keagamaan kita. Dampak positifnya adalah kita didorong untuk mengedepankan tindakan yang memanusiakan sesama. Tindakan yang memanusiakan sesama akan membawa kita pada suatu cara pandang yang memandang sesama sebagai gambaran Allah (imago Dei). Sampai pada titik ini merupakan gambaran iman kita yang sesungguhnya. Artinya bahwa iman kita bukan iman yang mati tapi iman yang hidup, yakni iman yang menggerakan kita untuk melakukan kebaikan kepada sesama tanpa batas.
Fr. Vabianus Louk