HUT ABAS, dan Dosa yang Menjadi Rahmat

Loading

Gereja Katolik melalui Ajaran Sosial Gereja serta pesan pastoral kerap kali menggaungkan keberpihakan Gereja pada kaum miskin dan tertindas. Karenanya, tak heran jika karya pelayanan terhadap kaum lemah itu diejawantahkan baik oleh kaum klerus maupun kaum awam. Yayasan Awam Bina Amal Sejati (ABAS) yang berlokasi di Desa Tonjong-Parung, Bogor menjadi salah satu karya pelayanan cinta kasih pada sesama yang diinisiasi oleh kaum awam. Berdiri sejak 11 Maret 1994, ABAS telah menjadi griya penampungan bagi anak-anak dan wanita tunawisma. Melewati usia 29 tahun berkarya bagi kaum miskin, tersisihkan dan terlantar, sekitar 80 anak dan ratusan wanita tunawisma telah datang dan pergi silih berganti menjadi bagian dari keluarga besar ABAS. Sebagian anak-anak itu dititipkan dari bayi, diasuh, tumbuh dan berkembang, dicukupi kebutuhannya hingga pendidikannya lewat kasih ABAS. Sedangkan tunawisma penghuninya kebanyakan wanita lansia.

Bagi anak-anak, ABAS merupakan tempat tumbuh kembang. Bagi lansia, ABAS bak terminal terakhir sebelum ajal menjelang. Semuanya menjadikan panti ini sebagai rumah layaknya arena berinteraksi, tujuan pulang, dan tempat menoreh kenangan.

Option For The Poor 

Berpihak kepada mereka yang miskin, tersisihkan, dan terlantar rupanya pilihan hidup yang dilakoni Pendiri sekaligus Pimpinan Yayasan ABAS, Maria Rosa Tirtahadi. Lahir dari keluarga berada, berpendidikan tinggi, dan pergaulannya yang luas justru mengoyakan hatinya demi melihat derita sesamanya. Rosa yang sempat berada di eropa ini rela menukar kenyamanan hidup dengan kesulitan lika liku memperjuangkan kaum yang tak dipandang.

Pada 1994, dengan modal sendiri, mantan biarawati ini merintis Yayasan ABAS. Seniornya, Suster Rina Ruigrok menyokong penuh rintisan Rosa. Biarawati asal Belanda tersebut kerap mendampingi Rosa membesarkan karya kemanusiaan itu.

“Suster Rina banyak membantu saat-saat ABAS berdiri. Kala itu dia memperkenalkan saya dengan relasinya di Belanda. Harapannya, mereka akan membantu finansial ABAS. Suster Rina juga mendukung keputusan saya keluar dari biara supaya saya lebih fokus mengurusi ABAS yang adalah gerakan awam,” demikian Rosa mengenang mendiang Suster Rina, Jumat (7/4).

Waktu terus berlalu. Hari-hari terasa cepat berlari. Bilangan bulan berganti tahun. ABAS menjelma menjadi hunian para papa yang dikenal bukan hanya di Keuskupan Bogor ataupun warga Bogor. Terbukti, penghuni ABAS berasal dari berbagai daerah di Tanah Air. Multikultur, begitu pun dengan agamanya. Kendati demikian, iman katolik abadi ciri khas rumah bersama ini.

Kiprah ABAS pun menuai tanggapan dari berbagai kalangan. Vikaris Jenderal Keuskupan Bogor RD Yohanes Suparta yang memimpin Misa HUT Yayasan ABAS pada 11 Maret lalu menegaskan ABAS adalah bukti persemaian kasih Tuhan. Menurutnya, ABAS menjadi tempat yang mau menerima penghuninya apa adanya.

Greg Djako selaku Legal Yayasan ABAS mengungkap, ABAS merupakan lembaga sosial dengan spiritual cinta kasih luar biasa yang menjadi inti ajaran Kristus. Greg berkata, “Mereka penghuni ABAS diperlakukan manusiawi, dihargai dan dicukupkan kebutuhannya. Anak-anak bahkan mendapat kesempatan mengembangkan potensinya, bersekolah di sekolah yang bagus sehingga mampu mendulang sukses”.

Bram pegawai Panti ABAS, dan Ahmad Alfonsus anak asuh panti sedari bayi menilai karya ABAS tak lepas dari sosok Maria Rosa sebagai panutan. “Bu Rosa mempunyai empati yang besar pada kaum lemah, dan itu salah satu ciri yang harus dimiliki pemimpin yang bergerak di bidang sosial,” tukas Bram. Sedangkan bagi Ahmad, Rosa sudah seperti ibunya. “Bu Rosa adalah ibu kami anak-anak panti. Jujur saja, Bu Rosa yang sehari-hari kami panggil ibu, tak akan tergantikan. Beliau tulus merawat kami,” imbuhnya. 

Dimata pemerhati ABAS, Agnes Gunawan dan Jeanne MS, gerakan kemanusiaan yang dilakukan ABAS juga harus mendapatkan perhatian segenap anggota Gereja. Ini merupakan ti ndakan nyata, melayani kaum yang tersisihkan sesuai ajaran Tuhan Yesus. “Semoga banyak umat Katolik tergerak untuk melayani kaum yang lemah. Umat tidak melayani di seputar altar saja,” pinta mereka . 

Tidak Mengadili 

Puluhan tahun, jatuh bangun berkarya untuk ABAS mengasah iman Maria Rosa untuk peka kepada rencana Tuhan. Dalam refleksinya, perempuan yang memilih selibat ini terpatri oleh ucapan Yesus saat tergantung di kayu salib. Terutama pada momen sengsara, wafat, dan kebangkitan Tuhan yang tengah diperingati umat, ucapan Tuhan itu mencerahkan hatinya.

Ketika Yesus berucap “Aku haus”, Rosa merasa ia harus melepas dahaga sesama yang haus cinta kasih, perhatian dan martabat manusiawi. “Dalam doa, saya minta cukup cinta kasih supaya saya bisa memberikan kasih ini pada mereka yang membutuhkan. Orang tidak dapat mengasihi kalau tidak dikasihi,” refleksi Rosa.

Pengampunan adalah wujud cinta kasih. Hanya orang berjiwa besar, bermutiara kasih yang sanggup mengampuni. Di kayu salib, kepada Bapa, Yesus berkata, “Ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.

Ucapan Yesus itu menguatkan Rosa untuk melihat semua peristiwa secara komprehensif, dengan kacamata iman. Terutama terhadap pelaku yang tega menitipkan bayinya di ABAS. Tepatnya, sebelas tahun silam ketika usianya menginjak setengah abad, Rosa bersikap semakin bijak. “Siapa diri saya sehingga harus mengadili mereka? Saya berharap dengan mengampuni, Tuhan pun akan mengampuni saya”.

Uskup Emeritus Mgr Cosmas Angkur menyatakan, anak-anak di Panti ABAS adalah rahmat untuk Rosa. Bahkan kata Uskup, rahmat itu melebihi Sara (istri Abraham, red) karena di usia senjanya Rosa dikaruniai puluhan anak meski bukan dari rahimnya.

Pandangan surgawi acapkali bertolak belakang dengan penilaian duniawi. Seperti layaknya Allah Yang Penuh Ampun, terus merangkul mereka yang berbuat jahat agar bertobat. “Mereka yang berbuat salah itu karena tidak menyadarinya, dan kurangnya cinta kasih. Tidak perlu mengadilinya, tetapi terus dikasihi karena Tuhan menantikan pertobatan,” kembali Rosa berefleksi.

Dan bagi Maria Rosa, rangkaian peristiwa yang mewarnai perjalanan pantinya membawa permenungan teramat dalam, “Dosa orang bisa menjadi rahmat bagi kita.” 

Ignatius Herjanjam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Content is protected !!