Sabtu, 21 Oktober 2023
Bacaan Pertama : Rm. 4: 13, 16-18
Mazmur Tanggapan : Mzm. 105: 6-7, 8-9, 42-43
Injil : Lukas 12: 8-12
Saudara-saudari yang terkasih, ketika kita merayakan Ekaristi di hari minggu atau pada hari raya dan pesta, kita selalu mengungkapkan syahadat. Pengakuan iman ini kita mulai atau diawali dengan ungkapan ‘aku percaya.’ Terdapat sesuatu yang menarik dalam kata tersebut. Penggunaan kata percaya bukan yakin atau believe bukan trust dalam pengakuan iman ini memiliki konotasi yang berbeda. kata believe sebagai percaya ini memiliki dimensi kepenuhan dan penyerahan diri. Maksudnya adalah ungkapan aku percaya merujuk pada ‘diriku berserah atau menyerahkan diri secara penuh, total, dan utuh kepada Sang Penyelenggaraan Ilahi itu, yakni Allah. Dalam keberadaan-Nya, diriku telah kuserahkan agar di dalam aku, segala kehendak-Nya tergenapi.’
Masuk dalam konteks bacaan-bacaan pada hari ini, kita dapat mengamati bahwa dengan menaruh kepercayaan kepada Allah, kita menerima janji-Nya untuk digenapi pada saat waktunya tiba. Dalam bacaan pertama, berkisah tentang Abraham dan keturunannya yang telah dijanjikan Allah tergenapi. Hal tersebut terjadi oleh karena imannya, yakni sungguh percaya kepada Allah. Bahkan terdapat penegasan akan hal itu, “sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya.” Adapun dalam bacaan Injil juga dikisahkan tentang hal serupa dan dampaknya, yakni dengan mengakui-Nya, maka akan diakui pula oleh-Nya di depan para malaikat Allah. Pengakuan iman kita pun haruslah demikian. Namun, pengakuan iman ini tidak hanya dilakukan secara lisan dan tulisan, tetapi dalam kehidupan pun ahrus diselaraskan. Pengakuan iman menjadi pernyataan dan penegasan terhadap kebenaran itu sendiri. Dengan kata lain, mempercayai-Nya berarti menyatakan adanya keberadaan dari kebenaran itu, di mana apa yang kita percayai bukan sesuatu yang tidak ada atau tidak real.
Percaya terhadap seseorang atau sesuatu memiliki daya magis. Ketika kita mulai mempercayai, kita akan merasa memiliki topangan. Entah sadar atau tidak, seseorang yang percaya menjadi lebih berani dan kokoh, merasa aman dan dilindungi, atau bahkan menajdi lebih tenang. Misalnya, pasangan suami-istri atau pacar, dalam membangun relasi yang lebih intim, harus menaruh rasa percaya satu sama lain sehingga satu sama lainnya dapat saling menjaga. Apabila kepercayaan terhadap satu sama lain berdampak demikian, maka percaya kepada-Nya akan lebih daripada itu. Kita bukan hanya dijanjikan oleh-Nya, tetapi pada waktunya nanti, Dia akan menyatakan janji-Nya kepada kita.
Fr. Thomas More Yuven Raga Teda