Kanon 1055
- 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
Kanon itu bukan merupakan definisi atau batasan tentang perkawinan tetapi merupakan gambaran atau diskripsi tentang perkawinan. Kalimat yang digunakan tidak mulai dengan perkawinan adalah … tetapi perjanjian perkawinan …. Rumusan dibiarkan terbuka sehingga orang dapat membentuk pengertian sendiri berdasarkan berbagai hal atau unsur pokok yang disampaikan.
Perkawinan merupakan perjanjian. Digunakan kata foedus (bukan contractus) untuk menyatakan bahwa perkawinan memiliki makna seperti yang diungkapkan dalam Kitab Suci, yakni hubungan antara Allah dengan manusia, Kristus dengan GerejaNya. Perkawinan bukan hanya sekedar penggabungan atau perimbangan hak dan kewajiban dari dua pihak bersangkutan seperti yang terjadi dalam kontrak duniawi, tetapi hubungan kasih dan sifatnya rohaniah atau spiritual.
Hubungan itu bersifat personal dan sekaligus transendental. Yang terlibat di dalamnya bukan hanya dua pihak yang bersangkutan melainkan juga Tuhan dan Gereja. Dengan perkawinan orang memasuki bentuk hidup (forma vivendi) tertentu dan penghayatannya secara konkrit merupakan salah satu bentuk, wujud, atau sarana dari upaya pengudusan.
Subyek atau pelaku perkawinan adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan. Ingin diungkapkan di sini bahwa perkawinan katolik bersifat monogami dan heteroseksual. Gereja menolak adanya perkawinan poligami atau poliandri baik serentak maupun berturutan. Ditolak juga kemungkinan dilangsungkannya perkawinan antara seorang pribadi yang bukan laki-laki atau bukan perempuan[1]. Agar dapat melangsungkan perkawinan katolik yang sah, seorang laki-laki harus memiliki alat kelamin (penis) dengan bentuk dan ukuran yang normal serta memiliki kemampuan untuk ereksi, penetrasi, dan ejakulasi secara semestinya. Seorang perempuan harus memiliki alat kelamin (vagina) dengan bentuk dan ukuran normal serta reseptif terhadap alat kelamin laki-laki.
Bentuk hubungan yang dibangun dengan perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup. Artinya, hubungan itu meliputi seluruh pribadi dan berlangsung selamanya. Pengertian ini diambil dan dibahasakan secara agak lain dari Konsili Vatikan II tentang persekutuan hidup dan kasih’[2]. Santo Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa hubungan itu meliputi seluruh proyek hidup yang mencakup segala bentuk atau tingkat kehidupan: tubuh, sifat, hati, akal-budi, dan kehendak[3].
Hubungan yang demikian erat itu mengandung di dalam dirinya tujuan. Kitab Hukum Kanonik membahasakannya dengan kalimat, menurut ciri kodratinya …. Dengan kalimat itu, ingin ditegaskan bahwa tujuan perkawinan bukan merupakan unsur tambahan atau tempelan dari luar. Tujuan perkawinan telah ada dan menyatu dalam perkawinan sejak kesepakatan dilakukan. Karena itu, menerima perkawinan berarti sekaligus menerima tujuannya. Begitu juga, menolak tujuan perkawinan sama dengan menolak perkawinan itu sendiri.
Berbeda dengan Kitab Hukum Kanonik 1917, tujuan perkawinan dipaparkan tanpa penomoran[4]. Artinya, tujuan perkawinan merupakan satu kesatuan dan bernilai sama. Tidak mungkin menerima yang satu dan menolak yang lain. Tidak mungkin juga mengutamakan yang satu dan merendahkan yang lain. Tujuan itu adalah: kebaikan suami-isteri, kelahiran, dan pendidikan anak. Kebaikan suami-isteri disebut pertama kali karena merupakan dasar yang memungkinkan kelahiran dan pendidikan anak sebagaimana dimengerti dalam ajaran Gereja.
Perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya dibaptis mendapatkan martabat sakramental oleh Kristus, Tuhan. Hubungan itu menandakan dan sekaligus menyatakan kehadiran Allah yang menyelamatkan. Melalui perkawinan hendaknya suami-isteri berkembang untuk saling melengkapi, memperkaya, dan menyempurnakan diri dan iman dalam kekudusan.
- 2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.
Ada kecenderungan dari orang atau lembaga tertentu (negara) untuk menyatakan bahwa perkawinan berada dibawah kuasa yurisdiksinya. Menurutnya, perkawinan adalah kontrak manusiawi belaka dan karenanya hanya merupakan salah satu bentuk kenyataan sosial. Atas kecenderungan itu, Gereja menegaskan bahwa perkawinan kontrak dan perkawinan sakramen merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan penegasan itu Gereja berupaya menyatakan dan memantapkan kedudukannya sebagai pemegang kuasa yurisdiksi atas perkawinan antara orang yang dibaptis.
Kanon 1056
Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
Ciri atau sifat hakiki perkawinan dibandingkan dengan bentuk hubungan yang lain adalah kesatuan dan sifat tak-dapat-diputuskan (unitas et indissolubilitas). Ciri-ciri itu disebut hakiki karena membentuk identitas perkawinan. Artinya, tanpa ciri-ciri itu, perkawinan tidak dapat dibedakan dari bentuk hubungan-hubungan lain dan bahkan tidak ada. Setiap perkawinan yang sah dimengerti Gereja sebagai hubungan antar pribadi yang memiliki kestabilan[5]. Kestabilan itu menjadi lebih kuat karena martabat sakramental yang diterimanya.
Sekilas perkembangan perkawinan mixta religio (kawin campur)
Dalam masa Gereja Awal ada larangan umum bagi yang dibaptis (katolik) untuk melangsungkan perkawinan dengan bidaah atau heretik (penganut ajaran sesat). Bersamaan dengan munculnya perpecahan dalam Gereja Katolik, larangan itu diperluas; agar orang katolik tidak melangsungkan perkawinan dengan anggota Gereja skismatik (orang yang dibaptis dan tidak dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik Roma). Secara khusus, ada larangan pula bagi orang yang dibaptis katolik melangsungkan perkawinan dengan orang Yahudi.
Pada abad 12-13 larangan itu bersifat mutlak, sehingga perkawinan yang dilangsungkan dengan bidaah dianggap tidak sah oleh Gereja Katolik. Terhadap perkawinan yang demikian, Gereja Katolik tidak pernah memberikan dispensasi.
Konsili Trente (tahun 1546) tidak secara langsung berbicara tentang kawin-campur dan larangan terhadapnya. Walaupun demikian, melalui suatu dekretnya dinyatakan bahwa pastor tidak boleh memberkati perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan seorang bidaah sebelum bidaah tersebut bertobat dengan menarik diri dari ajaran sesat yang dianutnya.
Pada abad 18 larangan tersebut dirumuskan secara positif dan diperjelas dengan aturan lain yang memungkinkan adanya dispensasi. Seorang yang dibaptis katolik dapat melangsungkan perkawinan dengan bidaah yang telah menarik diri dari ajaran sesat yang dianutnya. Agar memperoleh dispensasi, kedua calon harus menyatakan janji untuk menjalani iman katolik dengan baik dan bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak yang lahir secara katolik. Dalam hal ini hanya Paus yang memiliki kuasa untuk memberikan dispensasi. Baru pada akhir abad itu, kuasa untuk memberikan dispensasi itu dilimpahkan juga kepada para Uskup, khususnya di Tanah Misi.
Kitab Hukum Kanonik 1917 merumuskan hal itu dengan lebih jelas dan mulai menggunakan istilah perkawinan mixta Religio untuk perkawinan antara orang yang dibaptis katolik dengan orang yang juga dibaptis tetapi tercatat dalam gereja heretik atau skismatik. Kanon 1060 dan 1061 Kitab Hukum itu menyatakan bahwa kawin campur demikian sangat keras (severissime) dilarang. Akibatnya, walaupun bobotnya hanya larangan dan bukan halangan, nilainya sama dengan perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan orang yang tidak dibaptis (kan. 1070). Tanpa dispensasi perkawinan itu tidak sah.
Tahun 1931 Paus Pius XI mengeluarkan Encyclik Casti Conubii[6] yang berupaya merumuskan kembali hakikat perkawinan. Dengan tegas dinyatakan bahwa perkawinan adalah lembaga ilahi yang terjadi dari kesepakatan bebas untuk melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Karena itu, perkawinan yang dilangsungkan seturut lembaga apa pun bersifat kekal dan tak terceraikan apabila memenuhi kriteria tersebut. Paus menyebut perkawinan yang memenuhi kriteria itu sebagai perkawinan yang benar. Walaupun demikian, tentang perkawinan mixta religo ia tetap tidak mengubah apa-apa.
Pemahaman baru secara menyeluruh dan mendasar tentang perkawinan dan perkawinan mixta religio khususnya, terjadi dalam Konsili Vatikan II (1959 – 1965). Pertimbangan pokok yang melandasinya meliputi:
- Realitas sosiologis. Orang-orang katolik hidup dan tinggal menyebar di mana-mana – entah sebagai kelompok mayoritas atau minoritas – di antara masyarakat umum yang berbeda baptisan maupun agama. Dengan demikian kemungkinan terjadinya perkawinan mixta religio dan perkawinan disparitas cultus semakin besar dan semakin diterima oleh masyarakat pada umumnya.
- Maraknya gerakan-gerakan ekumenis. Sikap permusuhan antara Gereja Katolik dengan Gereja-Gereja lain (khususnya Protestan) melemah dan umat beriman dari kedua pihak didorong untuk saling mengenal, hidup berdampingan secara damai, dan bekerja-sama dalam berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu. Hubungan demikian sangat jelas mendekatkan pandangan kedua pihak dan mendukung terjadinya perkawinan mixta religio.
- Ajaran Gereja tentang kebebasan beragama. Beragama adalah hak asasi, sehingga tak seorang maupun lembaga pun (termasuk Gereja) dapat menghalangi seseorang untuk memeluk agama tertentu dengan menolak terjadinya perkawinan mixta religio dan disparitas cultus.
- Eklesiologi yang berubah dari Gereja sebagai Persekutuan Sempurna (Societas perfecta) menjadi Umat Allah. Gereja bukanlah persekutuan tunggal dan telah sempurna di dalam dirinya sendiri. Gereja adalah umat beriman yang sedang dalam proses menuju kesempurnaan, sehingga kemungkinan adanya berbagai macam persekutuan dengan tingkat yang beragam di dalamnya diterima dan diakui. Termasuk dalam penerimaan dan pengakuan adalah Gereja yang tidak dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik dan juga persekutuan hidup perkawinan mixta religio dan disparitas cultus.
Pemahaman baru dari Konsili Vatikan II yang demikian itu membawa akibat langsung pada perkawinan mixta religio berkaitan dengan: (1) bobot pelarangannya, (2) formulasi janji yang harus dibuat, (3) forma, dan (4) liturgi yang harus dipenuhi.
Pengertian
Kawin campur dalam konteks Undang-Undang Perkawinan Negara Republik Indonesia menunjuk pada perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia antara orang berkewarganegaraan Indonesia dengan orang berkewarganegaraan asing[7]. Bersama dengan beberapa aturan lain yang mendukungnya, kawin campur yang demikian ditempatkan dalam pasal 57-63 Undang-Undang Perkawinan No. 1 / 1974.
Terlanjur salah kaprah bahwa dalam Gereja Katolik dikenal adanya dua macam kawin campur, yakni: beda Gereja (mixta religio) dan beda agama (disparitas cultus). Dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 maupun 1983 yang disebut kawin campur adalah perkawinan Beda Gereja. Perkawinan beda agama tidak masuk dalam kawin campur. Hanya saja, persyaratan yang dituntut untuk memperoleh dispensasi atasnya sama dengan yang dituntut untuk memperoleh lisensi atau izin dalam kawin campur.
Kawin campur beda Gereja adalah perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan seorang yang dibaptis bukan katolik (Kristen Protestan, Anglikan, Ortodok)[8]. Sedangkan perkawinan beda agama adalah perkawinan antara seorang yang dibaptis katolik dengan seorang yang tidak dibaptis (Islam, Hindu, Budha, Sinto, dll.) atau yang baptisannya tidak diakui oleh Gereja Katolik.
Penghalangan dan pelarangan
Perkawinan beda agama dianggap oleh Gereja sebagai halangan yang menggagalkan (impedimentum dirimens). Karena itu, perkawinan itu tidak sah. Demikian Kitab Hukum Kanonik 1983 kan. 1086 berbunyi:
- 1. Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.
- 2. Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126.
- 3. Jika satu pihak pada waktu menikah oleh umum dianggap sebagai sudah dibaptis atau baptisnya diragukan, sesuai norma kan. 1060 haruslah diandaikan sahnya perkawinan, sampai terbukti dengan pasti bahwa satu pihak telah dibaptis, sedangkan pihak yang lain tidak dibaptis.
Berbeda halnya dengan kawin campur (perkawinan beda Gereja). Gereja melarangnya, sehingga kalaupun tidak ada lisensi atau izin yang diperlukan, perkawinan itu tetap sah. Kitab Hukum Kanonik 1983 kan. 1124 menyatakan demikian:
Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya setelah baptis, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.
Kanon 1125
Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
10 pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
20 mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik;
30 kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
Ketidakabsahan perkawinan beda agama dan pelarangan kawin campur merupakan wujud dari upaya Gereja Katolik untuk melindungi hak dan kewajiban anggotanya. Kedua macam perkawinan itu diyakini Gereja Katolik sebagai ancaman serius bagi pihak katolik dalam memperoleh hak dan menjalankan kewajiban untuk menghayati iman katoliknya, membaptis anak, dan mendidik anak secara katolik.
Selain itu, kedua macam perkawinan itu dinilai Gereja Katolik akan dapat mengganggu atau bahkan menghalangi penghayatan akan arti perkawinan sebagai persekutuan seluruh hidup. Iman biasanya merupakan landasan, acuan, dan panduan dalam hidup pribadi baik secara individual maupun sosial. Dengan menjalani perkawinan itu berarti dengan sengaja dari awal meletakkan penghalang atau pengganggu yang sangat potensial di tengah jalan untuk sampai pada kesatuan dua pribadi menjadi satu daging (bdk. Mat 19, 5). Dalam hal ini harus diakui bahwa setiap agama mengandung ajaran, ritus, dan pengungkapan yang berbeda dengan agama lain. Berhubungan dengan Agama Kristen dapat dikatakan bahwa Kristus yang diyakini sama tetapi ajaran, ritus, dan pengungkapannya tidak sama dengan Agama Katolik. Praktek dalam hidup sehari-hari menunjukkan hal itu.
Hal lain yang juga menjadi pertimbangan atas kedua macam perkawinan itu adalah pandangannya tentang indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan). Dalam teori ada agama bukan katolik yang meyakini dan mengajarkan sifat tak-dapat-diputuskan itu, tetapi dalam praktek hal itu tidak sungguh-sungguh diperjuangkan. Kenyataan yang kita tangkap menunjukkan yang sebaliknya. Karena hal itu diyakini sebagai garansi positif dan sesuai dengan keyakinan setiap orang yang melangsungkan perkawinan, Gereja Katolik tidak pernah dapat menerima adanya perceraian dengan apa pun alasannya, kecuali kematian (kan. 1141).
Dispensasi dan Lisensi atau Izin
Karena hormat terhadap agama lain[9], pengakuan akan hak setiap orang untuk menikah (bdk. kan. 219), dan berbagai kenyataan sosial, dalam Gereja Katolik dimungkinkan adanya kawin-campur. Seorang yang dibaptis katolik dapat melangsungkan perkawinan dengan seorang yang dibaptis bukan katolik setelah mendapatkan lisensi (kan. 1124). Lisensi di sini adalah izin yang dinyatakan dengan jelas oleh Kuasa Gereja yang berwenang, yakni Ordinaris Wilayah (Uskup diosesan, Vikaris Jenderal, atau Vikaris Episkopal). Tanpa lisensi itu, perkawinan yang dilangsungkan dianggap sah tetapi tidak licit (non licet), yang artinya: tidak sepenuhnya memenuhi aturan gerejawi. Tentang kuasa memberi lisensi, Uskup dapat mendelegasikannya kepada Vikaris lain atau Pastor Paroki.
Seorang yang dibaptis katolik dapat pula melangsungkan perkawinan dengan seorang yang tidak dibaptis setelah memperoleh dispensasi dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan (kan. 1129). Dispensasi adalah pembebasan terhadap seorang katolik dari kewajibannya untuk memenuhi peraturan Gereja Katolik oleh Kuasa Gereja yang berwenang, yakni Ordinaris Wilayah. Kuasa untuk memberikan dispensasi dapat didelegasikan kepada Vikaris (dapat pula diberikan kepada Pastor Paroki tetapi jarang terjadi). Tanpa dispensasi, perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.
Untuk memperoleh lisensi dan dispensasi, kanon 1125 menetapkan beberapa ketentuan sebagai berikut. Dalam memberikan lisensi dan dispensasi, Uskup diosesan harus memiliki alasan yang dinilainya masuk akal dan memadai. Alasan yang masuk akal dan memadai tersebut misalnya: perjaka atau perawan yang sudah berumur, kesulitan mendapatkan jodoh yang seagama, duda atau janda dengan anak kecil yang memerlukan bapak atau ibu, pihak katolik yang beriman cukup kuat sehingga tidak akan berpindah agama, pihak bukan katolik yang kemungkinan besar akan menjadi katolik, dll.
Syarat yang harus dipenuhi oleh pihak katolik untuk mendapatkan lisensi atau dispensasi adalah janji yang formulasinya (perumusannya) ditentukan Konferensi Para Uskup setempat. Janji tersebut berisi pernyataan bahwa ia bersedia (1) menjauhkan bahaya meninggalkan iman katoliknya, (2) berusaha melakukan segala sesuatu dan sekuat tenaga untuk membaptis anak, dan (3) mendidik anak secara katolik. Perlu ditekankan di sini bahwa janji ini langsung terkait dengan usaha dan bukan hasil. Karena itu, pihak katolik tidak dapat dipersalahkan apabila tidak berhasil memenuhi janjinya, asalkan telah sungguh-sungguh berusaha melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukannya.
Dalam hal ini pihak bukan katolik tidak terikat hukum atau peraturan gerejawi, sehingga ia tidak dituntut untuk berjanji dan melakukan sesuatu seperti pihak katolik. Kepadanya tidak dituntut untuk melepaskan hak dan kewajiban sesuai dengan agamanya. Satu-satunya hal yang diharapkan darinya adalah mengetahui janji dan kewajiban pihak katolik. Dalam hal ini, dianggap cukup apabila pihak bukan katolik diberitahu dan sadar akan hal itu. Bentuk formal yang ditetapkan oleh Konferensi Para Uskup Indonesia dalam hal itu adalah keterangan Pastor yang menyatakan bahwa pihak tidak katolik telah diberitahu mengenai janji pihak katolik dan pihak tidak katolik telah mengetahuinya.
Syarat lain yang perlu dipenuhi adalah bahwa kedua pihak diajar tentang tujuan dan karakteristik pokok perkawinan katolik. Tujuan perkawinan meliputi kebaikan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak (kan. 1055 § 1). Sedangkan karakteristik pokok perkawinan adalah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan (kan. 1056).
Bogor, 16 Februari 2015.
RD. Y. Driyanto
[1] Larangan itu ditegaskan dengan membedakan secara tajam antara culture dan nature perkawinan, khususnya arti kelaki-lakian dan keperempuanan, dalam JOHN PAUL II, Address to Tribunal Rota, 1 February 2001, n. 3.
[2] GS 48.
[3] FC 19.
[4] Bdk. KHK 1917, kan. 1013 § 1.
[5] PIUS XI, Lit. encycl., Casti Connubii, 31 Dec. 1930, AAS 35 !930), p. 553 (dalam terj. Christian Marriage, hal. 18).
[6] PIUS XI, Lit. encycl. Casti Conubii, 31 Dec. 1930, AAS 35 (1930), 539-592.
[7] UNDANG-UNDANG PERKAWINAN No.1/1974, Pasal 57.
[8] Tidak semua baptis dalam Gereja atau komunitas bukan katolik diakui keabsahannya oleh Gereja Katolik. Umumnya baptis dalam Gereja-Gereja yang termasuk dalam PGI diakui oleh Gereja Katolik. Untuk lebih tepatnya dalam penilaian lebih baik dilihat secara langsung materia (bahan) dan forma-nya (rumusan kata-katanya).
[9] KONSILI VATIKAN II, decl. Dignitatis Humanae, 7 des. 1965, n. 2.
Syalom Romo,
Saya mau bertanya,
saya pernah membaca bahwa ketika seorang katolik menikah dengan agama lain (tidak dibaptis), maka sekalipun bisa namun itu bukanlah “sakramen”.
Apakah dengan demikian maka nantinya jika pihak nonkatolik meninggalkan pihak katolik, maka pihak katolik dapat menikah lagi? Dan jika pihak nonkatolik melakukan poligami/poliandri, apakah pihak katolik bisa tetap bertahan bersamanya ataukah wajib meninggalkannya dan mencari pasangan yg lain?
Dan apakah nantinya pihak katolik pun bisa meninggalkan pihak nonkatolik dan menikah lagi?
Apakah ada bagian dari KHK yang mengatur hal ini?
Karena dalam pemahaman saya, jika perkawinan yg terjadi itu bukan merupakan sebuah sakramen, maka hal-hal seperti itu tentu bukan tidak mungkin untuk diijinkan, karena pada dasarnya ikatan itu bukan sakramen.
Mohon penjelasannya, Romo.
Terima kasih