Bedah Buku : Ine Pare Novel Ibu Padi
Rabu, 10 Juni 2015 bertempat di Aula Lantai 7 Penerbit & Toko Rohani Obor, Jakarta, diadakan acara bedah buku dengan judul “Ine Pare: Novel Ibu Padi Karya F. Rahardi sekaligus merayakan ulang tahun beliau yang ke 65. Acara sederhana namun penuh kehangatan ini dibuka dengan sambutan dari RD. Edy Purwanto, Sekretaris Eksekutif KWI. Beliau menyampaikan ucapan selamat dan terimakasih untuk OBOR yang telah menyelenggarakan kegiatan ini dalam rangka ulang tahun bapak F. Rahardi.
Setelah sambutan, acara dilanjutkan dengan bedah buku: Ine Pare Novel Ibu Padi. Bedah buku dimoderatori oleh RD. Agustinus Surianto, direktur Penerbit dan Buku Rohani Obor. Sebagai pembicara adalah Ibu Maria Hartiningsih (wartawan senior KOMPAS) dan Bapak Eka Budianta, yang mewakili istrinya Melani Budianta (Guru Besar Fakultas Ilmu Kebudayaan UI) yang berhalangan hadir. RD. Agus dibagian pengantar bedah buku mengucapkan terimakasih untuk acara ini yang ingin mengulas sebuah karya sastra dengan setting budaya Flores yang dikerjakan 2 tahun oleh Bapak F. Rahardi atas permintaan pimpinan penerbit Nusa Indah yang kali ini berhalangan hadir juga. Setelah itu beliau memperkenalkan dan mengulas latar belakang 2 pembicara yang hadir.
Pada awal ulasannya, Ibu Maria Hartiningsih mengucapkan selamat ulang tahun untuk bapak Rahardi, beliau juga mengungkapkan kekagumannya terhadap penulis yang notabene adalah orang jawa tetapi mampu menulis secara detail tentang budaya yang tidak ia hidupi secara langsung. Dalam ulasannya, beliau memulai dari cover buku yang langsung tertuju pada gambar darah. Ia kaget mengapa harus symbol ini yang digunakan? mengapa harus gambar ini? Cover yang penuh provokasi. Darah sebagai symbol kesucian dan symbol kemurnian. Beliau juga menyoroti jenis huruf yang dipilih, sehingga kurang artistik dan mempengaruhi layout buku yang membuat orang kurang masuk di dalamnya. Yang mengesankan buat beliau adalah bersentuhan dengan tokoh Jawa-Dwipa dan tokoh lain dalam cerita ini. Bahasa tulisan menurut beliau sangat indah dan mengena di hati. Penguraian tentang pertanian juga sangat luarbiasa. Sehingga beliau pun mengatakan tidak akan sanggup membuat uraian yang detail ini. Beliau seperti menemukan jawaban dari segala asumsi yang pernah keluar dari pikirannya mengenai dunia beras setelah membaca novel ini. Beliau menyampaikan ulasan sangat rinci dari novel ini hingga menyebutkan halaman per halaman dalam novel yang membuatnya semakin memberikan pujian dari karya novel ini.
Bapak Eka mempresentasikan ulasan dari Ibu Melani Budianta. Dibagian awal, beliau menceritakan tentang siapakah F. Rahardi dan karya-karyanya. Beliau juga menyampaikan Kekhasan dari novel ini: baru pertama kali F. Rahardi mengangkat mitos (legenda penciptaan padi dan legenda penciptaan) dengan gaya “serius”. Jika biasanya F. Rahardi menggarap suara rakyat kecil atau menyindir secara karikatural kaum elit, novel ini sepenuhnya adalah novel epik. Atmosfer yang ditampilkan mistis, dengan warna lokal yang kuat. F. Rahardi jika pada novel-novel yang lain tekanannya adalah pada suara para tokoh yang dikoreografi dalam suatu plot yang relatif fleksibel, Ine Pare bertumpu pada plot yang ragangannya sudah tersedia dan narator maha tahu sehingga menceritakan kembali legenda dengan sudut pandang beberapa tokoh-khususnya Ine Pare. Novel ini terasa lebih berat dan melelahkan dibanding novel-novel lainnya, sehingga sungguh membutuhkan waktu untuk selesai membacanya. Novel ini juga berbasis riset tentang sejarah lokal, khususnya sejarah penyebaran padi di NTT, pengetahuan tentang alam khususnya tumbuh-tumbuhan, budaya, lapisan sosial (tiga lapis sosial: 1. Mosalaki, elite tuan tanah, 2. Tuka tani, rakyat biasa dan 3. Ato ko’o, budak). Bapak Eka menyoroti latar belakang F. Rahardi dalam novel ini, yaitu: cara bercocok tanam padi, cara membuat alat-alat pertanian (parang, alat pengukus, lumbung), cara memasak tradisional (bakar), cara memasak dengan mengukus, cara mengolah minyak cendana, pati aren, memantik api secara tradisional, cara membangun irigasi dengan bambu.
Dalam urai selanjutnya, Bapak Eka juga mengungkapkan mengenai isi novel yang mengangkat dimensi sosial-historis (lokal-global), dimensi mistis (Mitos penciptaan padi) – mitos lokal dipadukan dengan aspek Biblikal (perjamuan terakhir: “lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku!”, “perjamuanku, perjamuan terakhir” dan pengorbanan Kristus-halaman 251), membumikan mitos dalam cerita: Mitos Dewi Padi ini diterjemahkan dalam plot dengan protagonis Ine Pare (perwujudan Ine Puu), putri Bapak Raja dan Ibu Kaja, penguasa di Nua Ria, di tanah Persekutuan Ndori, Fores;
Ideologi Jawa-Sentris? Di balik keseluruhan cerita, ada narasi besar (Baca: ideologi atau teori) tentang peran dan pengaruh kebudayaan Jawa pada NTT: Seluruh budidaya pangan dan padi serta teknologinya diajarkan oleh orang dari Jawa-dwipa termasuk keluarga campuran Chola-Jawa. Bahkan penulisan ilmu santet di atas lontar (yang berasal dari pusat roh jahat di danau Tiwu Ata Polo di puncak Gunung Kelimutu) dilakukan oleh Sarala (orang Jawa-dwipa). Beberapa catatan dari novel ini dari Bapak Eka adalah: Pengetahuan narator (yang berdiksi sains, seperti “nutrisi mikro”, “tanah aluvial”) serta deskripsi rinci bentang alam, budidaya pangan dan teknologi membebani alur. Suara tokoh (yang dalam novel-novel dan prosa liris F. Rahardi sangat nyaring, heterogen, fasih dan lancar) di dalam novel ini dikalahkan oleh suara narator maha tahu dengan berbagai pengetahuannya. Beberapa titik klimaks (penyerangan atas Nua Ria, pembunuhan Raja dan istri, kehancuran Nua Ria oleh longsor, bahkan kematian Bheda) disampaikan nyaris tanpa efek dramatik. Kesan tergesa muncul dalam klimaks terakhir (kematian Bheda): ada kerancuan antara “rencana” (kata”akan” di halaman 205 dan 206) dan pelaksanaannya. Demikian juga konflik psikkologis antar saudara (Sipi-Ndale) disampaikan dengan encer.
Bapak Eka memberikan rekomendasi bahwa novel ini sangat layak untuk dibaca. Dan di akhir penjelasannya, beliau mengungkapkan melalui Ine Pare, F. Rahardi merambah gaya penuturan mitis-dramatis, novel epik dengan latar sejarah dan budaya lokal. Gaya penuturan dangat berbeda dengan novel sebelumnya. “Teruslah berkarya” menjadi akhir kata-kata penutup dari ulasan Bapak Eka.
Setelah presentasi dari kedua pembicara, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Bapak F. Rahardi yang dari awal acara terus memperlihatkan ekspresi yang tegang dan serius, beberapa kali mendapatkan “guyonan” dari Moderator dan juga dari hadirin yang lain. Akhir tanya jawab ditutup dengan penjelasan bapak F. Rahardi bahwa ketika penulis sudah selesai menulis tulisan itu otonom. Penulis tidak perlu membela diri, mengomentari terlebih lagi menjelaskan, karena penjelasan berikutnya akan menjadi novel baru. Beliau tetap menyerahkan pendapat atau komentar pada pembaca dan sekali lagi pembaca juga otonom dan mempunyai interpretasi masing-masing.
Kemudian acara dilanjutkan dengan ramah tamah, potong tumpeng sebagai ungkapan syukur perayaan ulang tahun bapak F. Rahardi dan makan siang bersama.
Sekilas tentang penulis novel Ine Pare: F. Rahardi, seorang Penyair, wartawan, penulis artikel, kolom, kritik sastra, cerita pendek, dan novel kelahiran Ambarawa 10 Juni 1950. Siapa sangka sebagai seorang yang punya rekam jejak luarbiasa dalam sastra, ternyata pernah mengalami Droup Out (DO) saat kelas 2 SMA pada tahun 1967, yang kemudian mengikuti ujian persamaan SPG pada tahun 1969. Karya yang telah dibukukan antara lain: Kumpulan Puisi Soempah WTS (1983), Catatan Harian Sang Koruptor (1985), Silsilah Garong (1990), Tuyul (1990), Pidato Akhir tahun Seorang Germo (1997) Sedangkan kumpulan cerpen yang pernah dihasilkan adalah: Kentrung Itelile (1993), Prosa lirik Migrasi Para Kampret (1993), dan Negeri Badak (2007). Sedangkan untuk novel, beliau mengasilkan karya: Lembata (2008), Ritual Gunung Kemukus (2008), Para Calon Presiden (2009) dan tentu saja Ine Pare (2015). Pada tahun 1984, F. Rahardi pernah dilarang oleh Dewan Kesenian Jakarta ketika beliau berniat membawa para Pekerja Seks Komersia (PSK) dalam acara pembacaan sajaknya ‘Soempah WTS’ di TIM , Jakarta. Pada tahun 1986 beliau kembali dilarang oleh aparat keamanan ketika akan membacakan ‘Catatan Harian Sang Koruptor’ di TIM, Jakarta. Pada tanggal 30 Desember 1997, meluncurkan puisinya ‘Pidato Akhir Tahun Seorang Germo’ di rumah Soeharto, salah seorang mucikari di komplek lokalisasi PSK di Silir, Surakarta. Pada tahun 1995, kumpulan puisi ‘Tuyul’ mendapat penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional. Dan pada tahun 2009, Prosa Lirik ‘Negeri Badak’, mendapat penghargaan “South East Asia Write Award”, dan Novel ‘Lembata’ mendapat penghargaan “Katulistiwa Literary Award”.