“Mengikuti Perayaan Ekaristi = Mencicipi Perjamuan Surgawi, benarkah ?”

Keuskupan – Komsos: Inilah tema sarasehan yang digagas oleh Seksi Liturg Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, Kota Wisata. Gasagan sarasehan ini berangkat dari keprihatinan umat manakala dalam Perayaan Ekaristi, kekhidmatan dan penghayatan Perayaan Ekaristi kurang diresapi. Datang terlambat datang di Perayaan Ekaristi, kegaduhan dalam gereja (ngobrol atau main hp, anak lari-lari ), umat yang pasif dalam berpartisipasi selama perayaan, dan lain-lainnya mengindikasikan bahwa Ekaristi belum dihayati sepenuhnya. Sebanyak 210 orang mengikuti sarasehan ini. Bahkan peserta ada yang berasal dari luar paroki dan stasi. Luar biasanya, peserta setia mengikuti sarasehan ini dari Pkl. 09.00 s/d Pkl. 14.00. Peserta tekun mendengar penjelasan dari Romo Fabianus Sebastian Heatubun yang menjadi narasumber dalam sarasehan ini.
Tema sarasehan yang sepertinya berat, oleh pastor Fabie dibawakan dengan serius tapi diselingi canda tawa, yang membuat peserta sepanjang acara menyimak penjelasan tanpa mengantuk, karena humor-humor yang dilontarkan Romo Fabie. Dimulai dengan menerangkan, betapa bersyukurnya menjadi orang katolik, dikarenakan mempunyai Liturgi Perayaan Ekaristi, yang bisa diandaikan sebagai liturgi surgawi yang ada didunia. Liturgi merupakan sumber dan puncak kehidupan Gereja, karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja, terlaksana dalam liturgi. Inilah anugerah terbesar dan terindah yang seharusnya disyukuri dan dipelihara oleh umat katolik sebagai bagian dari Gereja. Mukjizat yang diberikan Tuhan pada umatNya yang percaya dan mengikutiNya, adalah Ekaristi. Dimana dalam ajaran Gereja Katolik merupakan bentuk sakramen, yaitu tanda sekaligus sarana yang menyatukan manusia dengan Allah. Denominasi-denominasi lain di luar Gereja Katolik tidak mempunyai pandangan yang sama, mereka hanya memandang ‘roti’ sebagai simbol tubuh Kristus dalam ekaristi. Bila dikatakan hosti kudus adalah ‘Panis Angelicus’ atau roti dari surga, itu mengingatkan pada saat Bangsa Israel dalam perjalanan menuju tanah terjanji bersama Musa, diberikan ‘manna’ oleh Allah. Manna adalah roti yang diberikan oleh Allah sendiri, bukan manusia yang mengolahnya. Yesus sendiri menyebut diri-Nya sebagai sebagai Roti dari Surga (Yoh 6:51), sehingga bila dengan keyakinan dan iman menerima hosti kudus dan memakannya, maka kita ikut menikmati makanan para malaikat. Di saat itulah kita ikut ‘icip-icip’ merasakan Liturgi Surgawi. Selama ini umat kurang menyadari, kehadirannya ke Gereja untuk mengikuti Perayaan Ekaristi, dari awal ritus pembuka sampai ritus akhir, dengan ‘gesture’ (tata gerak tubuh) dilakukan asal-asalan, atau terkadang ikut-ikutan. Padahal saat itulah saat umat berhadapan dengan Allah. Justru liturgi dan ritus-ritus dalam Perayaan Ekaristi yang menurut beberapa anggapan aneh dan ‘mistis’ itu sangat biblis. Yesus sendiri mengatakan “pada saatnya engkau akan menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran”.
Kemudian muncul pertanyaan dari peserta, “Bila demikian, kehadiran untuk merayakan Ekaristi itu suatu kewajiban atau kebutuhan?” Pertanyaan tersebut dijawab oleh pastor Fabie, bahwa liturgi secara substansial bukan semata-mata karya manusia tetapi merupakan gambaran biblis “lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku“. Bila hadir dalam perayaan ekaristi merupakan suatu kewajiban, itu merupakan suatu ‘rule’ (aturan) dan legalistik semata, asal memenuhi kebutuhan, menjadi seperti robot yang tidak digerakkan oleh Roh. Ekaristi bukan tempat untuk berkreasi, menciptakan kreativitas. Sehingga bila umat ingin berkreativitas, dilakukan saja pada saat devosi. Ekaristi merupakan tradisi suci rasuli, yang sudah dilakukan sejak Gereja Perdana sehingga tidak perlu diubah-ubah. Liturgi adalah media dan sarana sebagai jembatan yang Ilahi dan duniawi. Sehingga bila dalam liturgi ada unsur-unsur ritual, itu merupakan sarana dimana manusia yang ragawi bisa terbantu untuk menyentuh wilayah yang sifatnya rohani. Maka, simbol-simbol, tata gerak, homili atau bunyi-bunyian (contohnya lonceng atau alat musik orgel dsb.) digunakan untuk menyentuh sensibilitas panca indera manusia untuk masuk dalam wilayah spiritual.
‘Praesentia realis’ atau kehadiran Kristus secara personal bisa dirasakan oleh indera manusia.
1. Yang Ilahi yang kita cicipi dengan indera rasa kita dalam roti dan anggur yang dikonsekrasikan menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Yang Ilahi hadir ‘hic et nunc’ (sekarang dan di sini) saat dikonsumsi, dan Allah membiarkan TubuhNya larut menyatu dalam diri manusia yang mengkonsumsi dengan penuh iman dan kepercayaan.
2. Secara visual, indera perlu melihat yang Ilahi bisa dipandang. Dengan indera penglihat, saat hosti kudus dieksposisikan pada umat “lihatlah, Anak Domba Allah’, yang transeden bisa menjadi riil. Sikap dasar pada saat itu adalah memandang, menatap dengan mata iman kita.
3. Bersangkutan dengan indera pendengaran, ketika imam membaca sabda, Allah sendiri yang menyampaikannya . Sehingga sikap dasar umat adalah mendengar, tidak membaca kitab suci. ‘Fides Ex Auditu’, iman datang dari pendengaran. Pertanyaan yang sampai 2 kali ditanyakan oleh peserta yang berbeda, adalah masalah teks misa yang tidak digunakan lagi dalam Perayaan Ekaristi. Seorang bapak mengatakan, teks misa perlu, karena ‘sound system’ tidak jelas, lektor, juga kadang imam pada saat membaca sabda kurang jelas. Peserta yang lain seorang ibu, menyatakan bahwa saat ada lembaran teks misa, anaknya ‘anteng’ ikut membaca teks tersebut, sekarang setelah tidak ada, jadi tidak bisa tenang di dalam gereja. Pastor Fabie menjawab, mengutip tulisan santo Paulus pada jemaat di Roma “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus”. Sehingga pada saat sabda dibacakan, umat mendengarkan bukan membaca. Ajaran Gereja tentang ‘praesentia realis’ (kehadiran nyata) Kristus secara personal dalam liturgi, yang tertuang dalam SC no 7, Allah hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja. Perlu dibiasakan pada umat untuk mendengar sabda, sehingga hal inilah yang membedakan Gereja Katolik dengan gereja denominasi yang lain, yang membawa kitab suci saat beribadah. Anak-anak perlu dilatih sejak dini untuk mendengarkan sabda. Bila yang bermasalah adalah ‘sound system’ atau lektor, hendaklah hal itu yang dibenahi, bukan teks misanya.
Beberapa pertanyaan peserta menyangkut ‘gesture’ dalam Perayaan Ekaristi, seperti “Bila Gereja yang digunakan untuk misa tidak mempunyai tempat untuk berlutut saat konsekrasi, apa yang harus dilakukan?” Romo Fabie menjawab, seturut Tata Perayaan Ekaristi yang berlaku di seluruh dunia, saat DSA (Doa Syukur Agung) dilakukan dengan cara berdiri, tetapi secara kultur, berlutut dianggap lebih ‘respect’ bila menghadap Yang Dimuliakan.
Beberapa peserta yang lain menanyakan tentang relikui di atas altar, juga batasan waktu dikatakan terlambat mengikuti misa. Tentang relikui, Romo Fabie menjelaskan kebiasaan yang sudah berlangsung berabad-abad untuk menyimpan tulang-tulang dari tubuh seorang martir atau orang kudus untuk mengenangkan pengorbanan mereka, dengan meletakkan di meja altar atau di bawah altar. Namun hal itu tidak lagi diharuskan, mengingat Gereja terus bertumbuh banyak di mana-mana, tetapi masih dianjurkan bila memungkinkan (PUMR 302). Mengenai batasan waktu terlambat kembali pada intensi dan atensi pada masing-masing orang. Bila maksud dan niat serta perhatiannya untuk pergi ke Gereja, pasti akan melakukan persiapan yang cukup. Tapi bila intensi dan atensi yang dilakukan sudah ‘well prepare’ (baik) ternyata mengalami kendala di jalan (katakanlah macet yang tak diduga), lain persolannya bila ia datang terlambat menghadiri misa. Hingga waktu yang ditentukan panitia selesai (pukul 14.00 ) tetapi peserta masih bersemangat bertanya, maka panitia akhirnya menambah waktu 30 menit.
Romo Fabie menutup sarasehan dengan mengatakan, logika dan pikiran selalu terbatas. Pengetahuan yang tinggi memenuhi rasio. Tetapi jangan menggunakan rasio untuk memahami hal yang spiritual tetapi belajarlah untuk mencintai. Berbahagialah yang tidak melihat namun percaya. Hosti dicintai, karena dengan mencintai kita akan memahami lebih daripada pengetahuan. Oleh karenanya tempat untuk mengasah cinta hanya ada pada Liturgi.
Pada hakekatnya Liturgi Ekaristi adalah ungkapan rasa syukur, bentuk dan isi nya hendak mengungkapkan rasa syukur itu. Rasa syukur itu merupakan sikap dasar hidup seorang kristiani dan merupakan inti dari ajaran Injil. Untuk mengungkapkan hal itu perlu latihan dan medium, Ekaristi sebagai medium yang tepat, lengkap dan sempurna. Jangan perlu merasa awam untuk belajar menggali warisan Gereja, liturgi.
Pesan yang diingat oleh Romo Fabie dari pembimbingnya saat menjadi frater adalah imam jangan merusak iman umat. Karena banyak terjadi imam-imam yang mengandalkan pengetahuan dan ‘theologi’ malah menyesatkan umat. Imam menjaga dan mengendalikan agar umat tidak salah jalan dan pemahaman. Kesan-kesan peserta seusai mengikuti sarasehan liturgi ini, cukup puas dan bahkan banyak yang meminta untuk diadakan kembali dengan tema lain.

DSC04514

Narasumber sarasehan :Romo Fabie Sebastian Heatubun
Narasumber sarasehan :Romo Fabie Sebastian Heatubun
Romo Fabie bersama Panitia sarasehan
Romo Fabie bersama Panitia sarasehan
Seorang peserta sarasehan bertanya kepada Rm. Fabie
Seorang peserta sarasehan bertanya kepada Rm. Fabie

Retty Manopo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Content is protected !!