“Pilah sampah sebelum keluar rumah, kelola sampah sebelum jadi masalah, ubah sampah jadi berkah.”
Kalimat di atas diucapkan oleh RB Sutarno, salah satu pembicara dalam Workshop “Bercocok Tanam dari Limbah Dapur” yang diselenggarakan di Paroki St. Joannes Baptista, Parung, pada Minggu (21/08) yang lalu. Praktisi sampah yang akrab dipanggil Pak Tarno itu membagikan ilmu tentang mengubah limbah dapur menjadi sampah organik. Di depan lebih dari 100 peserta, Pak Tarno mengungkapkan bahwa sampah dapat membuat jadi sejahtera, sampah dapat membuat jadi lebih sehat, dan sampah dapat menjadi berkah.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan memilah sampah sebelum dikeluarkan dari rumah. “Potongan cabe, potongan sayur, dan sisa makanan dikumpulkan dalam baskom. Setelah itu masukkan ke komposter,” terang Pak Tarno sambil memperlihatkan bermacam-macam ukuran komposter. Alat untuk menghasilkan pupuk kompos itu terbuat dari drum plastik yang didesain khusus. Sampah organik yang masuk ke komposter berubah menjadi pupuk cair organik dan pupuk padat organik setelah jangka waktu tertentu.
Aksi peduli lingkungan tersebut memiliki manfaat yang dapat menyentuh berbagai bidang. Dengan membuat pupuk dari limbah dapur, kita bisa mengurangi 60% sampah yang berasal dari sampah organik di rumah kita. Dari pupuk yang dihasilkan, tanaman koleksi kita menjadi subur. Tanaman sayur atau buah-buahan yang dipupuk menggunakan pupuk organik tersebut menjadi tanaman yang lebih sehat karena tak terpapar bahan kimia. Kita pun bisa menjual pupuk dan memperoleh pendapatan tambahan. “Atau kita bisa memberikan pupuk ke tetangga. Hubungan antar tetangga jadi lebih harmonis, kan?” Ucap Pak Tarno sambil tersenyum.
Pak Tarno juga memperlihatkan aneka kerajinan tangan dari barang bekas, seperti wayang dari kardus bekas yang bisa dimanfaatkan untuk mengajar anak-anak BIA atau siswa di sekolah. Selain mengurangi sampah, cara seperti itu membuat anak lebih kreatif.
Usai Pak Tarno berbagi ilmu tentang cara membuat pupuk dari limbah dapur, giliran Yustinus Tri Haryanto dari Tim Lingkungan Hidup Keuskupan Agung Jakarta yang berbagi ilmu tentang cara membuat vertical garden. Aktivis dari Pepulih (Pemerhati dan Peduli Lingkungan Hidup) KAJ ini menjelaskan beragam cara menanam menggunakan media dari barang-barang bekas yang biasanya luput dari perhatian kita. Beberapa di antaranya adalah pipa pralon, botol plastik bekas, dan tralis besi yang dilapisi karpet.
Pada sesi kedua ini, para peserta nampak makin antusias karena bisa ikut langsung mempraktikkannya. Botol plastik bekas yang sudah mereka bawa, dilubangi dan diisi dengan media tanam dan bibit tanaman cabai. Peserta yang sebagian besar merupakan calon penerima Sakramen Krisma nampak bersemangat saat membuatnya.
Asteria Ari Gitawati, Subseksi Krisma Paroki St. Joannes Baptista, Parung mengatakan bahwa keikutsertaan para calon penerima Sakramen Krisma dalam workshop tersebut karena mereka dianggap sudah dewasa oleh gereja. “Mereka juga memiliki tanggung jawab untuk mengemban tugas dari Tuhan, yakni memelihara Bumi,” jelas Asteria Ari. Harapannya, para calon penerima Sakramen Krisma tersebut dapat mewujudnyatakan kedewasaan mereka dengan lebih mencintai Bumi.
Kegiatan positif yang diselenggarakan oleh Seksi Jaringan Mitra Perempuan, Seksi PSE, dan WKRI Paroki St. Joannes Baptista, Parung tersebut ditutup dengan penyerahan alat pembuat lubang biopori dan pot cantik berbahan ban bekas dari Gerakan Cinta Lingkungan yang diwakili oleh Yusefin Lely Kusumaningsih, Ketua Jaringan Mitra Perempuan Keuskupan Bogor kepada DPP St. Joannes Baptista, Parung yang diwakili oleh Tyas Utomo. Alat pembuat lubang biopori tersebut nantinya menjadi inventaris gereja dan bisa dipinjam oleh lingkungan-lingkungan. Dengan demikian, “Paroki Hijau” seperti yang disuarakan oleh Mgr. Paskalis Bruno Syukur dalam surat gembalanya dapat terwujud sebagai tanggapan dari seruan pertobatan ekologis.* (Agnika/KOMSOS)