Bandung-Keuskupanbogor.org: Selasa (6/11/2018), seluruh anggota komunitas Seminari Tinggi Santo Petrus-Paulus amat berbangga dan berbahagia. Kebanggaan dan kebahagiaan itu bersumber pada kehadiran empat pastor (baru) tertahbis yang merupakan anggota komunitas Seminari Tinggi Santo Petrus-Paulus dan satu pastor dari komunitas CSE. Kelima pastor tertahbis itu ialah RD. Dionnysius Yumaryogustyn Manopo (RD. Dion), RD. Andreas Arie Susanto (RD. Arie), RD. Agustinus Wimbodo Purnomo (RD. Nanang), RD. Paulus Pera Arif Sugandi (RD. Pera), dan RP. Epiphanius Maria, CSE.
Dalam rangka mengucap syukur atas rahmat tahbisannya, kelima pastor tersebut hadir di komunitas Seminari Tinggi Santo Petrus-Paulus untuk mengadakan perayaan Ekaristi perdana. Perayaan Ekaristi perdana itu adalah lambang persaudaraan yang erat, ciri khas dari komunitas Seminari Tinggi Santo Petrus-Paulus, dan lambang pengutusan imamatnya. Perayaan Ekaristi perdana tersebut dilaksanakan pada pukul 18.00 dan dilanjutkan dengan ramah tamah. Acara ini dihadiri oleh seluruh anggota komunitas seminari tinggi, para tamu undangan (para donatur dan pengajar), dan juga para anggota komunitas Seminari Menengah Cadas Hikmat.
Misa perdana dipimpin oleh RD. Dion sebagai selebran utama, dengan homili yang didelegasikan kepada RD. Arie. Dalam homilinya, RD. Arie mengungkapkan refleksi atas rahmat tahbisan presbyterat yang ia dan para rekannya terima. Menurutnya, para frater dan imam dihormati bukan hanya karena pakaian yang dikenakannya, melainkan karena mereka memiliki kelebihan dalam dirinya. “Sudah sepatutnya kita menghormati semua orang bukan dengan memandang ‘siapa dan apa jabatannya’, tetapi karena martabat dan segala kelebihan dalam dirinya. Selain itu, dalam hal melayani hendaknya kita menyertakan kasih dalam perbuatan kita, sebab tindakan tanpa kasih adalah ketiadaan dan kesia-siaan belaka,” ujar RD Arie.
Melayani bak seorang hamba
Melalui homili yang disampaikan oleh RD. Arie, kita diajak untuk mau seperti Yesus yang “mengambil rupa seorang hamba.” Rupa seorang hamba berarti selalu hadir bagi sesama, melayani sesama tanpa pamrih atau pilih-pilih, tetap rendah hati, merendahkan diri, dan bertindak dalam kasih. Menjadi hamba bukanlah menjadi “serigala berbulu domba” yang menyembunyikan kebenaran di balik kebohongan, atau menjadi pribadi yang selalu ada dalam kepura-puraan. Rupa seorang hamba adalah pribadi yang jujur dalam berkata dan berperilaku, serta selalu bertindak dalam kasih dan kebenaran. Gembala yang mengambil rupa seorang hamba adalah ia yang membawa “domba-dombanya” pada sukacita abadi.
Setelah perayaan Ekaristi selesai, umat yang hadir “digiring” menuju ruang makan untuk santap malam bersama. Santap malam bersama merupakan bagian dari ungkapan syukur atas rahmat tahbisan yang telah diterima para pastor dan lambang dari persaudaraan yang kuat. Makan bukan dipandang sebagai “makan” itu sendiri, melainkan sebagai ikatan persaudaraan sejati. Alasannya, dalam acara “makan” itu sendiri terdapat perjumpaan dan obrolan yang dapat sampai menyentuh rasa dengan cara berbagi cerita. Selain itu, dalam acara “makan” itu pun semua orang saling berbagi sukacita, terlebih atas rahmat tahbisan yang telah diterima oleh kelima saudara kami. Oleh karena itu, “makan” atau ramah-tamah menjadi sarana pula untuk mengucap syukur, berbagi sukacita, dan pengikat tali persaudaraan.
Sebagai simpulan, hari ini adalah hari yang berbahagia, khususnya bagi seluruh anggota komunitas Seminari Tinggi Santo Petrus-Paulus karena rahmat tahbisan yang telah diterima oleh kelima saudara kami. Harapan kami (seluruh anggota komunitas) ialah agar kelima saudara tertahbis selalu setia dan rendah hati dalam melayani umat. Semoga mereka dapat menjadi “gembala yang berbau domba.” (Fr. Norbertus Rio Chandra/Skolastik tingkat III Seminari Tinggi Santo Petrus-Paulus)