Bogor – keuskupanbogor.org : Ajakan untuk menciptakan Paroki Ramah Lingkungan atau Paroki Hijau (Green Parish) menjadi salah satu bahasan dalam rekoleksi para imam di Aula Pusat Pastoral (senin, 15/04/2019). Sebuah paroki dikatakan ramah lingkungan bila di dalamnya tercipta sebuah interaksi timbal balik yang saling menyehatkan antara imam, awam (umat) beserta seluruh lingkungan pendukung sekitarnya (flora, fauna, tanah, air, lingkungan sosial, dan sebagainya). Ibu Elisabeth Lisa Tedjojuwono (Ketua Green Team Biro Ekologi PSE Keuskupan Bogor) menjadi narasumber dalam sesi ini.
Untuk mewujudkan Paroki Hijau diperlukan upaya berkesinambungan dan kerja sama yang baik seluruh pihak. Ibu Lisa menyampaikan setidaknya ada sepuluh indikator minimal untuk mencapai paroki ramah lingkungan. Melalui contoh praktis keseharian ada berbagai cara yang bisa dilakukan sebagai sebuah gerakan menuju paroki ramah lingkungan.
Dalam sesi tanya jawab, para pastor memberikan pertanyaan dan masukan guna menyukseskan terwujudnya paroki yang ramah lingkungan. Romo Fabie memberikan masukan agar pastoral ekologis ini berkesinambungan dan konsistens melalui buku panduan seperti buku saku atau katekismus khusus ekologis. “Tak perlu resah dengan narasumber, karena kita memiliki imam muda yang sedang enerjik yaitu Romo Habel”, tutur Romo Fabie sebagai sebuah rekomendasi.
Terkait hal tersebut, Mgr Paskalis memberikan penekanan pada semangat dan spiritualistas founding father Keuskupan Bogor. Laudate Montes (Domino), “Pujilah Tuhan, hai gunung-gemunung” merupakan sesanti Mgr Nicolaus Johannes Cornelius Geise ketika diangkat menjadi Prefek Apostolik Sukabumi. “Spirit ini harus tereralisasi dalam tindakan konkrit. Salah satu spiritualitas Keuskupan Bogor adalah ekologi yang harus disebarkan dalam gereja dan sekolah”, jelas Mgr Paskalis. Untuk Sekolah Mardi Yuana yang akan merayakan Ulang Tahun ke-70, Mgr Paskalis pun menghimbau tersedianya buku pegangan pendidikan kemardiyuanaan yang memuat nilai-nilai keutamaan. “Saya berharap salah satu spirit kemardiyuanaan adalah cinta lingkungan hidup”, tegas beliau.
“Mari kita mulai dengan hal hal praktis karena kita bisa melakukannya. Para pastor hendaknya tidak memiliki perbedaan persepsi soal ekologi ketika berpindah paroki”, tambah Mgr Paskalis sebelum menutup sesi ini dan melanjutkannya dengan doa sore. Makan malam bersama dan pelayanan Sakramen Rekonsiliasi melengkapi keseluruhan acara rekoleksi para imam hari ini. (RD David)
Ada koreksi kecil, sesanti Mgr Geise ketika diangkat menjadi Prefek Apostolik Sukabumi adalah Laudate Montes Domino”, kependekan dari kutipan Kitab Tambahan Daniel 3:75 (dalam Deuterokanonika) “Benedicite montes, et colles Domino: laudate et superexaltate eum in sæcula”, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi: “Pujilah Tuhan, hai gunung-gemunung, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya…”
Siap Pastor Agustinus Surianto
Terima kasih atas koreksinya.
Di tahap darurat iklim sekarang (climate emergency: Sept 2019 CO2 level 408ppm, tertinggi sejak kala Pliocene), paroki hrs sdh lompat menjadi Paroki Tangguh Iklim (climate resilience) & Paroki Adaptasi Iklim (climate adaptation). Mindset kita memang cenderung lamban (indifferent) kalau belum kena direct impact (IPCC Special Report: in last five years global mean temperature is +1.1’C: our carbon budget is 8,5 years left for +2’C effort, respectively 26 years left for +1.5’C effort). Be compassionate if we do aware.