Senin, 2 September 2019 Hari Biasa, Pekan Biasa XXII Bacaan I : 1Tes 4:13-17a Bacaan Injil : Luk 4:16-30
WAKTU saya kuliah dulu, seluruh mahasiswa baru di kampus saya diwajibkan untuk mengambil mata kuliah Critical Thinking (berpikir kritis). Tujuannya, supaya kami tidak hanya sekadar menerima pengetahuan, tapi mampu mengujinya. Saat awal belajar memang terasa aneh dan sulit, namun akhirnya metode ini jadi kebiasaan juga. Saking terbiasanya, setelah lulus mata kuliah ini rasanya saya jadi 10 kali lipat lebih bijaksana.
Positifnya, pola pikir ini memang sangat membantu saya, misalnya untuk memilah-milah kabar bohong (hoax) yang makin marak di zaman media sosial ini. Tapi negatifnya, saya jadi sering meragukan–dan bahkan memandang rendah pada pendapat dari orang-orang yang menurut saya kurang kredibel. Tak jarang saya merasa bahwa diri saya paling benar, karena sepertinya saya mampu berpikir lebih cermat dari orang lain.
Tanpa disadari, saya justru makin mirip dengan orang-orang di rumah ibadat yang didatangi Yesus, yang dikisahkan dalam Injil hari ini. Tanggapan “Bukankah Dia anak Yusuf?” menjadi gambaran ketidakpercayaan mereka akan ucapan Yesus yang mengklaim diri-Nya sebagai utusan Tuhan. Pada masa itu, diskriminasi memang praktik yang lumrah. Dalam bacaan-bacaan lain, kita mendapatkan gambaran bagaimana penderita kusta, pelacur, dan pemungut cukai memiliki kedudukan yang rendah di masyarakat. Adalah hal yang terlarang bagi pemuka agama untuk berada di dekat dan bahkan bergaul dengan mereka.
Yesus justru mendobrak batas-batas tersebut. Ia datang membawa pengharapan bagi orang-orang yang tertindas. Karena itulah, orang-orang ini menjadi marah kepada ‘si anak tukang kayu yang mengaku nabi’ itu. Rasa tinggi hati menghalangi mereka dari tujuan besar dalam pesan yang disampaikan oleh Yesus. Kalau saja mereka mau melihat dengan iman yang melampaui pengetahuan dan kebiasaan mereka, tentu Yesus dan semua niat baik-Nya akan disambut dengan gembira.
Dalam Bulan Kitab Suci Nasional ini, marilah kita membuka hati lebih luas untuk merenungkan pesan-pesan yang ingin Tuhan sampaikan melalui Sabda-Nya. Bukan menimbang Sabda hanya berdasarkan rasio manusia, namun melihat rancangan besar-Nya bagi dunia melalui kacamata iman kita.
Ya Tuhan, bukalah hatiku untuk menerima Sabda-Mu. Jagalah perilaku dan perkataanku, agar jangan sampai melukai orang lain, namun menjadi pancaran Kabar Gembira untuk semua orang, terutama mereka yang lemah. Amin.