Bertobat Tidak Perlu Tunggu Mukjizat

Loading

Rabu, 04 Maret 2020, Pekan I Prapaskah 
Bacaan I  : Yun. 3: 1-10
Mazmur    : Mzm. 51: 3-4.12-13.18-19
Injil     : Luk. 11: 29-32

SEORANG pencuri ketahuan melakukan aksinya di sebuah pasar. Ia diteriaki ‘maling!’ dan dikejar oleh banyak orang. Peristiwa kejar-kejaran pun terjadi di gang-gang pasar hingga pada akhirnya si pencuri tersebut terpojok. Akhirnya, dia diadili secara sepihak dan dikeroyok oleh massa. Ia mendapat luka yang serius namun dapat sembuh setelah mendapat perawatan yang intensif. Petugas keamanan sudah mengira bahwa nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi. Setelah sembuh, si pencuri tersebut berjanji tidak akan mencuri lagi dan akan memperdalam ilmu agama.

Dalam Injil hari ini, orang Farisi dan para ahli Taurat meminta tanda kepada Yesus sebagai pembuktian bahwa Allah memang bekerja dalam diri Yesus. Tanda dianggap oleh mereka sebagai mukjizat yang dapat membuat orang terpana akan kebesaran Allah. Seolah-olah ada niat untuk percaya pada Yesus, padahal mereka hanya ingin memuaskan rasa penasaran mereka tanpa ada niat untuk percaya dan mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan. Akhirnya, Yesus membandingkan mereka dengan orang-orang Niniwe yang kemudian bertobat setelah mendengarkan Yunus.

Mukjizat dan keajaiban merupakan suatu hal yang luar biasa. Dalam kehidupan sehari-hari, mukjizat dan keajaiban merupakan hal yang menarik perhatian dan banyak orang yang selalu berharap dan berdoa untuk mendapatkan mukjizat. Mukjizat dapat mengubah pandangan dan sikap seseorang karena mukjizat menyergap seluruh kesadaran. Orang dapat berubah 180 derajat ketika mendapat mukjizat dalam hidupnya. Akan tetapi, mukjizat bukanlah suatu hal yang harus sedemikian dicari agar dapat bertobat. Kita tidak perlu mukjizat sebagai alasan utama untuk bertobat karena alasan bertobat muncul dari dalam hati, bukan dari luar diri yang dapat kita saksikan.

Pengalaman sehari-hari yang berisi kebaikan Allah mendukung kita untuk semakin rendah hati mengakui kesalahan di hadapan Bapa. Pengalaman sehari-hari tersebut dapat dianggap sebagai mukjizat karena Allah berkarya di dalamnya. Pada masa prapaskah ini, tobat mendapat tempat istimewa untuk diusahakan. Kita harus selalu yakin bahwa Allah menerima orang-orang berdosa yang ingin bertobat. Pertanyaannya, apakah kita sebagai orang berdosa cukup rendah hati untuk datang dan meminta pengampunan kepada Allah?

[Fr. Ignatius Bahtiar]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Enable Notifications OK No thanks