SINODE TOLERANSI: MENUJU INDONESIA MAJU, INDONESIA KUAT

Loading

“Bagaimana cara kita untuk dapat menghidupi toleransi di Kota Bogor ini?”

Sebuah pertanyaan spontan yang dilontarkan kepada Bapak Bima Arya, selaku Walikota Bogor menjadi pertanyaan pembuka dalam Sinode Toleransi yang diselenggarakan oleh Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan pada perayaan Hari Persahabatan Manusiawi Internasional tanggal 4 Februari lalu. Sebuah pertanyaan yang kemudian menggulirkan diskusi yang sesekali disertai gelak tawa dari para undangan yang hadir di Aula St Mikael Gereja Katolik St. Fransiskus Asisi malam itu.

Berbicara mengenai kerukunan dan toleransi memang tidak dapat dilepaskan dari kenyataan akan adanya perbedaan dan keragaman, baik dalam karakter lapisan masyarakat, budaya, agama dan keyakinan, hingga cara pandang dan pola pikir . Bukan untuk diabaikan, ditutupi, maupun dihindari, melainkan dihadapi dengan berani dalam semangat untuk menjalin kebersamaan. Perbedaan sejatinya adalah balok-balok beraneka ragam yang, jika dapat dipadukan, akan menciptakan pondasi kokoh untuk berjalan jauh ke masa depan. Untuk itu, rasa persaudaraan dan toleransi pun menjadi kunci.

Berangkat dari kesadaran tersebut, Sinode Toleransi mengambil tema besar “Menuju Indonesia Maju, Indonesia Kuat” sebagai wujud komitmen Gereja Katolik untuk mengambil peran dalam merajut hubungan baik dalam kehidupan bermasyarakat di mana Gereja tersebut tumbuh dan berkembang. Sebagaimana Gereja selalu membuka diri kepada semua pihak dan dalam dialog,  pada kesempatan Sinode Toleransi ini pun Gereja mengundang sekitar 100 undangan yang terdiri dari tokoh pemerintahan, jajaran TNI/ Polri, tokoh agama serta tokoh masyarakat dan tokoh kaum muda Kota Bogor. Tidak lain, untuk duduk bersama dan mendengar setiap suara yang dapat menuju pada peningkatan kualitas kehadiran Gereja Katolik, baik untuk diterapkan di Keuskupan Bogor secara menyeluruh maupun  secara khusus di Kota Bogor ini sendiri.

Aksi Nyata Semangat Persaudaraan Manusiawi

Namun, agar tidak hanya terpusat pada tataran seminar, diskusi, dan dialog, acara Sinode Toleransi: Menuju Indonesia Maju, Indonesia Kuat ini juga dijahit dengan adanya aksi sosial nyata, yaitu pembagian bantuan sosial bagi warga sekitar yang membutuhkan. Bekerja sama dengan Denpon III/1 Bogor dan Basolia, ratusan paket bansos yang terdiri dari beberapa kebutuhan pokok akan didistribusikan secara langsung kepada para warga yang berdomisili di sekitar area Denpom III/1 Bogor dan Paroki St. Fransiskus Asisi, melalui masjid-mesjid terdekat. Hal tersebut sejalan dengan  semangat Hari Persahabatan Manusiawi Internasional yang merupakan semangat toleransi untuk menumbuhkan rasa persaudaraan di antara umat manusia di mana Gereja dapat hadir dan dirasakan senyata nyata dalam kebutuhan masyarakat di sekitarnya.

Sebagai bentuk seremonial, beberapa perwakilan warga penerima bantuan tersebut pun diundang untuk menerima bantuan secara simbolis yang diserahkan oleh Bima Arya selaku Walikota Bogor, didampingi oleh Mgr Paskalis Bruno Syukur selaku Uskup Keuskupan Bogor, RD Yustinus Dwi Karyanto selaku Pastor Paroki Santo Fransiskus Asisi-Sukasari, serta Wadandenpom III/1 Bogor.

Gereja Mendengar, Gereja Membuka Diri

Keragaman latar belakang dari para undangan yang menghadiri Sinode Toleransi ini sendiri seakan menjadi aneka warna menarik yang menghiasi jalannya cerita dan kesaksian yang dibagikan secara santai namun penuh makna. Dipandu oleh Romo Dion Manopo, Ketua Komisi HAAK Keuskupan Bogor dan Agatha Lidya, salah satu anggota Badan Penasehat Kaum Muda di Vatikan, banyak kisah-kisah menarik yang berhasil tergali dan menjadi kesaksian nyata akan peran kehadiran Gereja Katolik, khususnya di Kota  Bogor ini. Warna persaudaraan dan kekeluargaan yang menjadi bukti bahwa perbedaan justru menjadi kekuatan.

Para tokoh-tokoh lintas agama FKUB Kota Bogor pun menyampaikan pendapat yang nyaris senada mengenai sinergi kebersamaan yang telah dijalin dalam kehadiran selama ini. “Kalau kita bisa menghayati sinode itu dengan semangat kebersamaan, tentunya ini akan menjadi lokomotif. Saat Gereja mau membuka diri bersama-sama, Gereja akan menjadi bagian dari seluruh umat manusia yang berjalan bersama,” ujar Pendeta Tri  selaku tokoh Kristen Kota Bogor. Pernyataan itu pun kemudian disambung kesaksian yang disampaikan tokoh Konghucu Kota Bogor, Bapak Andri, mengenai rasa kebersamaan yang dirasakan dalam berelasi bersama Gereja dalam bentuk FKUB maupun Basolia. Kerjasama tersebut menjadikan kata “minoritas” seakan kehilangan makna karena semua hadir secara nyata dan setara.

Fokus kepada aksi, bukan seremonial. Pernyataan tersebut juga menjadi benang merah dari banyak kesaksian yang disampaikan banyak pihak dalam Sinode Toleransi kali ini. Kota Bogor yang dirasakan toleran dan nyaman menjadi buah dari kerjasama lintas gamana selama ini, di mana Gereja Katolik turut mengambil peran di dalamnya. Basolia (Badan Sosial Lintas Agama), Bogor Sahabat, hingga Formula menjadi beberapa wadah kebersamaan di mana perbedaan diterima dalam semangat persaudaraan, tanpa kecurigaan. Tindakan serta kebersamaan nyata yang hadir dalam perjumpaan serta kerjasama menjadi sebuah tempat di mana dialog kehidupan yang sebenar-benarnya terjadi.

Disampaikan pula oleh Walikota Bogor, Bima Arya, yang turut mengikuti jalannya Sinode Toleransi dengan antusias, bahwa beliau sangat mengapresiasi Gereja Katolik yang bersifat inklusif dan terlibat dalam mendukung program-program yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Bogor dalam berbagai isu sosial. “Saya merasa Gereja Katolik selalu hadir, khususnya dalam program-program sosial kemasyarakatan dan ingkungan hidup,” ujarnya sembari turut menyampaikan harapan ke depan bagaimana Gereja bisa terus bersinergi untuk mewujudkan program-program lintas agama yang nyata untuk mengelola perbedaan. Karena  cara pandang tersebut akan menentukan langkah hidup ke depan, baik dalam konteks kota, hingga membangun pondasi Indonesia yang kuat di atas berbagai perbedaan.     

Lalu, sebagaimana pertanyaan pembuka di awal Sinode, bagaimana cara kita dapat menghidupi toleransi di Kota Bogor ini? “Benturkan dengan perbedaan semaksimal mungkin!” demikian jawaban lugas beliau sembari menyoroti pengalaman beliau dalam menemukan Indonesia yang sesungguhnya dalam lingkungan yang heterogen. “Kita mempunyai modalitas yang luar biasa dengan begitu banyak cerita-cerita inspiratif di setiap sudut kota tentang persaudaraan, tentang kebersamaan,” lanjutnya.

Perbedaan Sebagai Pemersatu

Dalam beragam keragaman yang menyusun Indonesia di sepanjang nusantara, terdapat satu benang merah yang menyatukan  begitu banyak budaya, pola pikir, latar belakang, hingga agama dan kepercayaan sejak awal sejarah berdirinya, yaitu semangat persaudaraan dan persahabatan manusiawi. Falsafah dalam memandang manusia sederajat dan semangat bersama untuk membangun kehidupan yang memanusiakan manusia.

Semangat yang sama itulah yang perlu direfleksikan dalam Sinode Toleransi: Menuju Indonesia Maju, Indonesia Kuat, sebagaimana yang disampaikan oleh Mgr. Paskalis Bruno Syukur sendiri, “Perbedaan itu sesuatu yang niscaya, namun bukan untuk menghalangi tapi justru menyatukan kita semua.” Fokus pada nilai-nilai kebersamaan yang menyatukan sembari menghidupi perbedaan, hingga pada satu titik kata perbedaan turut kehilangan arti untuk memecahkan diri tetapi justru menjadi kekayaan yang bersinergi.

Gereja Katolik pun akan selalu tumbuh dalam toleransi akan perbedaan untuk berjalan bersama membangun Indonesia.

Sara Lea Tunas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Content is protected !!