Paroki Santo Matheus-Depok pada hari ini (13/2/2022) menjadi pelaksana rekoleksi sinode. Kegiatan ini diawali dengan registrasi peserta yang berjumlah 102 orang yang terdiri dari berbagai kelompok usia.
Dalam sambutannya, RD Petrus Jimmy Jackson Rampengan selaku Pastor Paroki Santo Matheus-Depok mengungkapkan rasa terima kasihnya untuk para tim fasilitator dan peserta yang hadir dalam rekoleksi sinode. Ia juga berharap rekoleksi sinode hari ini dapat berjalan dengan baik dalam penyertaan Tuhan.
“Kita adalah bagian dari Gereja Katolik. Kali ini, Bapa Paus Fransiskus membuka ruang supaya Gereja dapat melihat dirinya secara lebih mendalam. Salah satu contohnya adalah Sinode Para Uskup yang dimulai dari Gereja-gereja Partikular. Ini merupakan tahap yang pertama dari sinode yakni di Gereja-gereja Partikular. Kemudian hasil dari Sinode Gereja Partikular ini nantinya dikumpulkan ke KWI yaitu pada bulan agustus mendatang, setelah itu dikumpulkan per benua. Hingga pada akhirnya dibawa ke Vatikan. Kita bersyukur kita dilibatkan dalam Sinode Para Uskup. Bapa Paus sungguh menyadari bahwa Roh Kudus menjadi dasar untuk berpartisipasi dalam pembentukan Gereja. Sehingga kita mengimani bahwa hasil dari sinode ini merupakan hasil karya Roh Kudus,” tutur RD Yohanes Suparta selaku Ketua Umum Sinode Para Uskup di Keuskupan Bogor dalam sambutannya.
Lebih lanjut, Romo Parto, begitu Ia disapa, mengatakan bahwa hendaknya dalam rekoleksi di hari ini peserta yang hadir memberi saran untuk Gereja supaya Gereja dapat melihat pengalaman-pengalaman seluruh umat secara lebih mendalam. Romo Parto pun berterima kasih atas kerjasama dari Paroki Santo Matheus karena sangat aktif dan bersemangat dalam bersinode.
Kegiatan dilanjutkan dengan ibadat pembuka yang dipimpin oleh RD Marselinus Wisnu Wardhana.
Menguatkan Semangat Sebagai Teman Seperjalanan
Dalam sesi pengantar yang diberikan oleh fasilitator sinode yaitu Bapak Yohanes Don Bosco disampaikan arahan proses rekoleksi agar peserta mengetahui alur selama rekoleksi dan menjelaskan bahwa rekoleksi dimaksudkan untuk menghidupkan semangat Jalan Bersama yaitu menyegarkan iman umat dan untuk menguatkan semangat sebagai teman seperjalanan bagi umat lain. Rekoleksi sinode ini mengingatkan bahwa karya penyelamatan Tuhan bekerja dalam himpunan keluarga umat Allah-bukan orang per orang.
Selain itu, Dibutuhkan keterbukaan diri terhadap Roh Kudus agar dapat meminta pertolongan berjalan bersama. Poin lain yang dijelaskan adalah mengambil peran dalam kemajuan dan perkembangan Gereja Katolik.Dan upaya memperoleh kesegaran baru dalam iman adalah tujuan dari rekoleksi ini.
Oleh karenanya, dalam sesi sharing terdapat kaidah umum yaitu sebagai berikut:
1. Jujur, otentik, dan apa adanya. Maka hendaknya bersikap jujur tanpa perlu basa-basi ataupun berpura-pura.
2. Rendah hati, tidak perlu merasa lebih tinggi daripada yang lain ataupun sebaliknya. Semua orang berbicara dan mendengarkan. Menempatkan orang lain sebagai ‘teman seperjalanan’
3. Kebaruan, diharapkan segala sesuatu yang disampaikan dapat menyegarkan atau menginspirasi orang lain.
4. Keterbukaan hati, berani terbuka pada perbedaan dan kebenaran lain. Bersikap lapang dada dalam perubahan baru
5. Menghindari prasangka buruk terhadap orang lain, karenanya kita perlu bersatu dan saling melengkapi satu sama lain
6. Jangan terlalu cepat merasa puas terhadap segala sesuatu. Hal ini dapat menutup peluang akan hal-hal baru yang menumbuhkan
7. Realitas iman dan bukan ideologis, tidak terlena dalam teori yang abstrak tetapi mengikuti tuntunan Roh Kudus
8. Menumbuhkan harapan, kita diajak untuk menjalani iman dan saling menumbuhkan harapan
9. Memimpikan masa depan Gereja, kita memerlukan bantuan Roh Kudus untuk segala kebaikan yang perlu diperjuangkan dan dipertahankan dalam Gereja
Ibu Bumi, Saudari dan Rumah Kita Bersama
Pada kesempatan ini, refleksi sinode di Paroki Santo Matheus bertema tentang lingkungan hidup. Pada sesi narasi refleksi, narasi dibawakan oleh Bapak Ari Nurcahyo selaku tim fasilitator sinode. Dalam narasinya, peserta diajak untuk merefleksikan tentang Gereja yang memandang Ibu Bumi ini sebagai “saudari, rumah kita bersama”. Sebagai saudari, kita mestinya berbagi kehidupan dan memuji keindahan Ibu Bumi ini yang lengannya terbuka lebar untuk memeluk kita semua.
Hendaklah kita jangan lupa bahwa kita berasal dari tanah; badan jasmani kita dibentuk dari elemen-elemen bumi, kita menghirup udara bumi dan menikmati kehidupan dan kesegaran dari air yang dialirkan oleh Ibu Bumi ini.
Melalui Ensiklik Laudato Si’, Gereja mengingatkan kita akan perilaku manusia terhadap Ibu Bumi ini. Bumi pertiwi diperlakukan secara semena-mena, dieksploitasi, diporak-porandakan.Semata-mata karena keserakahan serta arogansi dan rendahnya rasa menghormati manusia terhadap saudarinya, Ibu Bumi ini.
Menghadapi tindakan keserakahan dan arogansi manusia terhadap saudarinya Ibu Bumi itu, kita diundang untuk melakukan Pertobatan Ekologis. Kita diajak untuk berbalik, memutar haluan, merubah pola pikir dan pola bertindak kita sebagai penghuni ibu pertiwi masa kini. Pola pikir dan bertindak baru perlu dikumandangkan. Pola baru itu berkenaan dengan cara lebih memandang keindahan dan rasa tanggung jawab kita untuk melestarikan rumah kita bersama ini dari pada mengeksploitasi habis-habisan isi perut bumi dan menghilangkan keindahan saudari kita ini demi kepentingan sesaat.
Inilah saatnya kita memulai lagi bertindak dalam semangat pertobatan ekologis yaitu sebuah pertobatan yang mengantarkan kita untuk mengubah cara hidup dan sikap kita mengupayakan kelestarian lingkungan sebagai wujud kehendak dan keputusan sadar kita untuk mengikuti kehendak Tuhan sendiri yang menginginkan kita agar kita memelihara alam ciptaanNya dan bukan merusaknya.
Keterlibatan Nyata Menjaga Ibu Bumi
Masih dalam narasi refleksi, peserta diajak untuk merenungkan bahwa semua niat baik harus bermuara pada tindakan yang nyata. Demikian pula, seiring dengan semangat Laudato Si’, Bapak Uskup Bogor menyerukan untuk mewujudkan kecintaan pada Ibu Bumi dalam berbagai tindakan yang nyata, seperti:
Dalam keluarga, Hendaknya mulai dibangun kebiasaan-kebiasaan kecil yang mencerminkan keterlibatan nyata dalam memelihara Ibu Bumi, misalnya dengan mengurangi buangan sampah, mengelola sampah menjadi kompos, menghemat listrik dan air. Anak-anak harus didampingi dan dibimbing untuk mulai mencintai bumi sebagai saudara dan saudarinya;
Dalam lingkungan, wilayah dan paroki. Hendaknya seruan Paus Fransiskus dapat diwujudkan dalam kegiatan kolektif di tingkatan teritorial gereja dalam berbagai karya nyata yang berkelanjutan, seperti bank sampah, penanaman pohon, kampanye konsumsi bijak, dan lain-lainnya. Hendaknya tingkatan teritori gerejawi menjadikan diri mereka sebagai pusat dari gerakan ramah lingkungan.
Dalam sekolah, Hendaknya setiap sekolah mengembangkan program “Sekolah Ramah Lingkungan” atau sering disebut sebagai “Green School”. Upaya penyadaran dan pengembangan kecintaan pada Ibu Bumi sebaiknya dielaborasi di dalam kurikulum dan kegiatan rutin di sekolah.
Dalam masyarakat, Hendaknya umat Katolik di Keuskupan Bogor secara proaktif membangun gaya hidup ramah lingkungan di tengah masyarakat. Umat katolik hendaknya menjadi bagian dari harapan bagi masyarakat melalui inisiatif dan cara hidup ramah lingkungan yang berkelanjutan. Inisiatif gerakan peduli lingkungan hendaknya juga menjadi momentum untuk bekerjasama dengan pemeluk dan lembaga agama lain yang ada di lingkungan kita. Kita perlu untuk menghidupkan semangat jalan bersama dalam rangka menyelamatkan lingkungan kita. Dalam jalan bersama itu kita akan menemukan kesadaran-kesadaran bahwa kita, manusia, menjadi salah satu kunci bagaimana bencana atau krisis bisa kita cegah atau kendalikan.
Merawat Lingkungan Melalui Tindakan Sederhana
Kegiatan dilanjutkan dengan sesi sharing berkelompok. Di masing-masing kelompok, terdapat fasilitator sinode yang mendampingi dan mengarahkan. Kemudian setelah sesi sharing usai, ditutup dengan sesi peneguhan yang diberikan oleh RD Marselinus Wisnu Wardhana.
“Dengan adanya sharing, kita semakin memahami bahwa kita dipersatukan melalui perbedaan. Kita juga melihat bahwa ada suatu pergerakan bersama namun kadang kita belum menyadarinya, padahal itu juga merupakan tuntunan Roh Kudus,” ujar Sekretaris Jenderal Keuskupan Bogor tersebut.
Mengutip pesan dari Paus Fransiskus, Romo Marsel menegaskan bahwa kita semua adalah orang yang dibaptis dan bersama-sama berjalan. Ternyata kita tidak pernah sendirian, Gereja Universal menganggap kita itu ada, maka peran kita sekecil apapun juga tetap dianggap oleh Gereja.
Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa kedatangan para peserta rekoleksi sinode pada hari ini adalah bukti bahwa Roh Kudus yang menuntun untuk bersatu dan berjalan bersama. Melalui sinode ini membuat semakin rendah hati di hadapan Tuhan.
“Saya sering mengingatkan kepada orang lain untuk menjaga kebersihan dan peduli terhadap lingkungan. Hal sederhana itu tentu ada manfaatnya dan kita dapat berjalan bersama melakukan gerakan sederhana itu bagi banyak orang. Tentu saja kita memerlukan bimbingan Roh Kudus untuk melaksanakan tugas perutusan sebagai orang yang dibaptis. Bagi kita hal sederhana dapat dibuktikan melalui membeli tanah sekarung dan menanam pohon di pot. Gereja tidak pernah berhenti untuk berusaha mengubah cara pandang kita untuk menuju pada hal kebaikan. Dengan adanya sinode ini, Gereja mengajak kita untuk ikut memikirkan situasi-situasi lingkungan di sekitar kita, sehingga kita menjadi harapan Gereja. Oleh sebab itu, kita perlu menyadari bahwa Roh Kudus itu bersama dengan kita. Kita juga diajak untuk rendah hati untuk mendengarkan Roh Kudus dalam kehidupan sehari-hari dan kita juga diajak untuk bergerak melalui hal-hal kecil demi merawat lingkungan. Orang-orang yang dibaptis adalah orang yang selalu melakukan karya dimanapun kita berada dengan mengandalkan Roh Kudus,” pungkas Romo Marsel.
Memberi Ruang Kepada Tuhan
Setelah sesi peneguhan berakhir, kegiatan dilanjutkan dengan Perayaan Ekaristi. Perayaan Ekaristi diadakan secara konselebrasi. RD Yohanes Suparta bertindak sebagai konselebran utama dan didampingi oleh RD Petrus Jimmy Jackson Rampengan, dan RD Marselinus Wisnu Wardhana.
“Sabda bahagia itu merupakan gambaran kehidupan nyata, yang memang dialami oleh kita semua, Yesus tidak pernah punya tujuan untuk mengkritik atau menilai baik atau buruknya sebuah cara hidup,” ujar RD Yohanes Suparta dalam homili yang Ia sampaikan.
Vikaris Jenderal Keuskupan Bogor tersebut mengajak umat dalam merenungkan bacaan Injil pada hari ini mengenai sabda bahagia. Sabda adalah sebuah gambaran, bukan sekadar benar atau salah, hitam atau putih, tetapi justru melalui sabda yang disampaikan tersebut semua orang diajak untuk melihat berbagai macam situasi dan kondisi.
Lebih lanjut, Ia menuturkan bahwa kita semua perlu membuka ruang bagi kehadiran Roh Kudus agar dapat melihat segala situasi dengan kepala dingin. Penderitaan yang kita temui di dalam kehidupan tidak abadi tetapi kebahagiaanlah yang abadi. Dengan memberi ruang kepada Tuhan dan kepada Roh Kudus, kita semua dapat melalui beragam situasi dengan menghayati bahwa hidup bukan sekadar berdasarkan tanah tetapi bagaimana menghadirkan Allah di dalam kehidupan sehari-hari.
Fr Agustinus Damas & Maria Dwi Anggraini
Dokumentasi: Fr Agustinus Damas