Jumat, 23 September 2022
Pekan Biasa XXV
PW. Santo Padre Pio dari Pietrelcina, Imam
Bacaan I: Pkh. 3:1-11
Mazmur: 144:1a. 2abc.3-4
Bacaan Injil: Lukas 9: 18-22
Pada suatu kali ketika Yesus berdoa seorang diri, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Lalu Ia bertanya kepada mereka: “Kata orang banyak, siapakah Aku ini?” Jawab mereka: “Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan, bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit.” Yesus bertanya kepada mereka: “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Jawab Petrus: “Mesias dari Allah.” Lalu Yesus melarang mereka dengan keras, supaya mereka jangan memberitahukan hal itu kepada siapapun. Dan Yesus berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.”
Renungan
“Wah dia orangnya narsis banget ya.”. Ucap seseorang ketika melihat seseorang yang cukup aktif dalam dunia maya. Akan tetapi, apa itu narsis? Seringkali dalam dunia maya, narsis digambarkan sebagai suatu fenomena di mana seseorang berusaha menunjukan kegiatan apa yang ia selalu lakukan dengan cara mengunggahnya ke media sosial. Fenomena ini begitu lekat pada masyarakat kontemporer saat ini, yang mana pengakuan dari orang lain adalah tujuan utama seseorang melakukan tindakan demi ketenaran.
Apakah mengais validasi dari orang lain adalah hal yang benar? Tentunya tidak. Dengan mencoba membuktikan diri kepada semua orang, justru manusia menjadi semakin bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa. Manusia akan semakin terasingkan dengan orang lain, bahkan dirinya sendiri. Seorang filsuf bernama Erich Fromm berkata bahwa keterasingan ini merupakan pengalaman yang membuat manusia terpisah dari dirinya sendiri. Manusia tidak bisa menjadi pusat dari kehidupannya atau pun menjadi pencipta atas segala tindakannya karena tindakan dan konsekuensi yang diperoleh menjadi tuan yang dituruti atau bahkan disembah.
Dalam bacaan injil, Yesus bertanya kepada para murid mengenai pandangan dan penilaian mereka masing tentang siapa diriNya. Namun, apa yang Yesus lakukan bukan semata-mata untuk menunjukan kepada semua orang bahwa ia adalah seseorang yang ingin dikenal. Justru apa yang Ia lakukan adalah sebaliknya. Ia berusaha menutupi dan tidak mencari validasi atas diriNya. Ia menyadari untuk menjadi manusia yang seutuhnya, maka Ia harus bisa mengontrol setiap kehendak dan konsekuensinya, bukan malah diperbudak oleh konsekuensi yang timbul setelah tindakan.
Yesus menjadi teladan bagi setiap orang untuk membebaskan diri dari keinginan untuk divalidasi atas segala tindakannya. Kebebasan sejati diperoleh ketika kita mampu memerdekakan diri dari segala hal yang mengekang kita, dalam hal ini tindakan dan konsekuensi. Menjadi pengikut Yesus berarti kita mau untuk dibentuk menjadi manusia seutuhnya dan otentik. Semoga kita semakin mampu untuk menjadi pribadi yang utuh dan otentik berkat teladan Yesus Kristus. Tuhan memberkatii
Fr. Jeremia Setiadi/ Skolastikat II