Seminar Menghidupi Ekaristi di Paroki HKY Jonggol

Loading

Mengapa ketentuan lagu-lagu yang boleh dinyanyikan di perayaan Ekaristi berbeda dari satu keuskupan dengan keuskupan lain?

Mengapa sebuah lagu dianggap lagu liturgi di Yogyakarta atau Jakarta atau daerah lain, namun dianggap hanya sebuah lagu rohani di keuskupan kita (Bogor) sehingga tak boleh dinyanyikan pada perayaan Ekaristi?

Apakah kita tidak khawatir orang muda kita akan meninggalkan gereja atau malas datang ke gereja ini karena lagunya terkesan membosankan/ monoton?

Demikian pertanyaan yang dilontarkan dua umat dari 5 umat yang diberi kesempatan bertanya pada seminar bertajuk “Gereja Sinodal Merayakan dan Menghidupi Ekaristi” yang diadakan pada Minggu, 30 Juni 2024.

Pertanyaan atau keluhan ini pun sebenarnya sudah sangat sering terlontar di kalangan umat keuskupan Bogor khususnya.

Pastur Riston Situmorang OSC, Sekretaris Komisi Liturgi KWI dan juga dosen liturgi di Universitas Parahyangan menjawab bahwa untuk ketentuan lagu dianggap memenuhi syarat sebagai lagu liturgis apabila memenuhi kriteria antara lain syair diambil dari kitab suci dan sesuai teologi Katolik, memiliki nada yang liturgis, mengarahkan kepada pujian kepada Tuhan semata, tidak rancu dengan nada atau syair lagu lain yang populer, dan penggalan kata yang benar sehingga tak menimbulkan persepsi yang tidak tepat.

Lagu yang dipilih adalah lagu untuk memuaskan Tuhan bukan untuk memuaskan atau servis diri sendiri. Dan kita perlu bertanya apakah kita datang untuk atau karena Tuhan atau untuk kesenangan diri. Apabila sudah merasa monoton kemudian pindah ke gereja sebelah itu merupakan tanda-tanda atau gejala kita hadir bukan untuk Ekaristi.

Pada awal seminar Romo Riston sebagai pembicara tunggal menjelaskan arti atau makna dan hakekat Ekaristi. Ekaristi yang merupakan puncak seluruh hidup Kristiani adalah ucapan syukur dan terima kasih manusia kepada Tuhan Allah. Cara atau ungkapan terima kasih itu dinyatakan atau dilakukan dengan Ekaristi.

Sedangkan Menghidupi Ekaristi berarti Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan kita dan merupakan penghayatan iman kita.

Tuhanpun menyuruh manusia untuk mengenang perjamuan terakhir bersama para rasul , mengenang kesengsaraan dan kebangkitan. Ini berarti bahwa dalam kehidupan tidak hanya sukacita namun penderitaan dan pengorbanan pun harus juga dijalani.

Dalam Ekaristi kita menyantap Tubuh Kristus (komuni Kudus) yang berarti kita menyatukan diri dengan Kristus sendiri.

Selain menerangkan makna, Romo juga menjelaskan dimensi liturgi Katolik, struktur atau bagian-bagian dari liturgi Ekaristi, syarat-syarat keabsahan (suatu misa dianggap sah), dan lain sebagainya termasuk mengapa kita tidak boleh datang terlambat ketika misa. Meskipun Romo tidak mungkin mempermalukan umat untuk menegur langsung atau melarang umat menerima komuni ketika terlambat sebaiknya umat sadar sendiri.

Romo juga menyampaikan bahwa Paus Fransiskus berpesan bahwasanya Ekaristi jangan dijadikan tempat untuk berperang, (bertengkar, bersitegang demi kepuasan atau kepentingan ego sendiri tanpa mau berpikir secara mendalam dan bijaksana, dan tidak menjaga perasaan orang lain) dan juga jangan perlakukan buruk liturgi, sebaliknya kita harus menjaga persekutuan dengan saling menghargai karena Ekaristi merupakan sumber sukacita dan terjadi pengudusan manusia dan penghormatan kemuliaan Allah.

Seminar yang diawali pukul 10.00 diakhiri pukul 13.00. Dihadiri 200 umat yang memenuhi GSG lantai 2. Bapak Yosef Panama sebagai ketua tim katakese sekaligus mewakili panitia HUT Paroki ke 5 menyampaikan terima kasih kepada Pastur Riston dan mengakui banyak hal yang baru diketahui seputar liturgi dari seminar ini .

/Tim liputan komsos Jonggol
Fransiska Fajariani
Doc Intan G, Teddy P

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Enable Notifications OK No thanks